Selasa, 27 Oktober 2015

latifah menulis





Tentang Wanita dan Lain-lain

Ia tempelkan  jidatnya pada  sejadah yang bergelar setia menemani disetiap waktu bersujud.
Disaat penghuni rumah terlelap tidur. Awan hitam pekat terlihat padat dalam lorong-lorong jendela. Kemudian kucuran doa yang turut menjelma bersama dengan cucuran air mata sembari menengadahkan kepala.Itu yang selalu dilakoninya disetiap sepertiga malam.
Kehidupan yang dijalani kini lebih terasa lega, meski tanpa seorang ibu. Kini ia sudah  pandai dalam meracik waktu,mengurusi rumah dan mengurus keempat adiknya.Iya pantas saja karna pengalaman yang cukup  ketika  mondok dulu selama kurang lebih empat tahun,ditambah dengan keadaan dirumah yang mengikat saat ini menjadikannya lebih dewasa. 
Apalagi dalam hal memobilsasi finansial, meski seorang wanita yang single, sekarang sudah mempunyai usaha pribadi yang besar dan maju,sehingga  mampu menjelma menjadi seorang wanita karir plus seorang ibu.

***
Entah virus apa yang menjadi penyebabnya  dimasa itu?
hingga sekarang ia tergeletak dalam tajamnya tanjakan kehidupan.Senyumannya kini tak semerbak dulu,raganya lemah terwujudkan dari badannya yang kurus,kulit hitamnya kering tak segar,suaranya serak  terdengar tak jelas, menutupi segudang kesedihan, hitam mengelilingi kelopak mata yang menjorok kedalam,matanya redup sayu tak pancarkan lagi kebahagiaan. Hanya guyuran tangisan yang menghiasi  diwajahnya.
Setiap hari  hanya  duduk sembari memeluk kaki dan menunudukan kepala. Sesekali ia diam dan  melamun, diatas sebuah ranjang yang beralaskan busa tipis dan seprai tua,disebuah huniannya yang kecil dan kumuh. Perasaan enggan menerima kepergian ibu terus menghantui,belum lagi bentakan ayah yang selalu menjadi irama rutinan dalam rumah memadati telinganya. Ia tidak menyadari ceramahan seorang  ustadz yang mengingatkan  bahwa manusia harus menerima Qadha dan Qadar atau ketentuan- ketentuan yang diberikan oleh Allah SWT.
Masih terus terbayang jelas ketika ibunya melangkahkan kaki pergi. Tangisan beberapa anak kecil tak didengarnya  dan jeritan ngamuk  anak dewasa yang tak sadarkan diri,dihiraukannya.Hanya karena ia tak ingin tinggal bersama dengan suami yang memiliki visi tak sama.Sudah kukatakan kepada ibuku bahwa aku tak sanggup untuk ditinggalkannya, namun ia tetap mewujudkan niatnya.
Suatu ketika ada perasaan bosan atas rutinitasnya.Pelan- pelan kumencoba memanfaatkan anggota badan untuk menjalankan kegiatan rumah.  Aku mulai bergegas, seperti halnya memasak ,mencuci, mengurus anak-anak sampai belanja untuk kebutuhan rumah. Sampai kurun waktu kurang lebih setengah bulan.Namun tidak lama juga keadaan mengajaku beruntal.
Uang belanja mulai tak tentu sehinnga tak mencukupi kebutuhan rumah.Anak-anak mulai bandel tidak dapat terkendali,belum lagi biaya sekolah adiknya yang harus ia tanggung sendiri.
Saban hari ia sengaja tidak berbelanja karena memang tak ada lagi bekal dikepalan tangannya,
tepat disaat matahari berada sejajar dengan atas kepalanya,adik kecil itu baru pulang sekolah dengan melemparkan tasnya diatas kasur dan menelantarkan seragamnya dipojok tembok,
ia menghampiri meja makan,
 ”Kenapa tidak masak ka?”sembari membuka tutup saji,
“Payaaah!“
“Kalau begini caranya aku tak mau makan”!
”Sudah makan saja yang pepes yang kemarin,itu sudah kaka hangatkan tadi pagi”
Jawab sikakak dengan lemas semabari mengusap keringat yang melintas dikeningnya ketika ia sedang menjilati lantai dengan jemarinya.
“Gak mauu!”
“Ya sudah minta uang saja!” kakinya gatal menendang-nendang meja makan
“Ayah tidak menitipkan uang belanja apalagi untuk jajan,”
“Arkkhhh!”
 Segera pergi  menutup pintu dengan tendangan kaki yang kesal dan marah.
Lagi-lagi pintu yang ditendang itu tiba-tiba berdering. Perlahan ia menghampiri dan membuka pintunya,ternyata yang diliriknya adalah orang yang menodong utang dengan paksa,kakiku bergetar tak henti. Kepalaku juga pusing dikelilingi masalah,aku tak bisa membayarnya,hanya meminta waktu untuk melunasinya,disaat itulah akumemutuskan untuk pergi. Kemana? Entahlah, keinginanku hanya ingin pergi menjauhi masalah yang mencekikku, disepanjang perjalanan menangis terisak tak henti. Pada akhirnya ia putuskan untuk pergi kepondok dulu, disana ia mendapati secercah dukungan dan harapan, dadanya mulai perlahan menghisap udara dengan lega.





















Tidak ada komentar:

Posting Komentar