latifah menulis



Dodi dengan nasibnya
Terdapat sesuatu di dalam tubuhnya, ini dirasakannya pada pertengahan semester kelas X. Karena ia dapat mengalahkan lawan sekolahnya dalam tauran. Dari situlah ia sampai beberapakali melakukannnya. Diantara teman- temannya ia paling jago, bahkan dicurigai memiliki ilmu kekebalan. Danger dijulukinya. Kalian pasti pernah melihat dalam sebuah televisi artis aktrasi  yang bernama limbad. Pasti sebahagian orang melihatnya ia memiliki kekuatan yang mumupuni bukan?  Kurang lebih seperti itulah teman-temannya menilainya. Nama aslinya Dodi, rambutnya yang gondrong, tubuhnya tidak terlalu tinggi, dan pastinya parasnya yang seram, juga bengis. Itulah gambaran dalam benak mereka, ketika telinganya hanya  mendengar suara yang memanggil namanya saja sekalipun.
            Sebentar dulu kau pasti bertanya-tanya, sesuatu apa yang ada di dalam tubuhnya. Yaitu kelebihan bergelut. Iya, pantas saja ia memilikinya. Karena diturunkan dari almarhum ayahnya. Dahulu ayahnya adalah seorang pesilat yang handal, bahkan ia suka mengajar di sebuah padepokan.  Namuan ketika  Dodi masih berumur satu tahun ayahnya mengidap sakit jantung dan meninggal.Dalam kesedihan ibunya saat itu, terdapat pula kecemasan, mengingat bayi  masih digendongnya sudah tak memiliki lagi ayah yang dapat menapkahinya. Tapi dengan kerja kerasnya,  meski mereka sekarang tinggal disebuah kosan dan ibunya sebagai pembantu di rumah tetangganya. beliau mampu mengurusnya bahkan sampai  sekarang menyekolahkannya di SMA yang sudah hampir beres, adiknya pun sekarang sudah masuk SD. Sayang, besarnya perjuangan ibu seoarang, bukan dimanfaatkannya. Dodi malah terjerumus, terbawa dan hidup dalam kerumunan teman- temanya yang sudah terbiasa dengan yang namanya tauran. dengan mereka ia merasa dinggap dan dapat melupakan  semua masalah, pikirnya.
Lantas mengapa ia menjadi seperti itu? Kalian pikir saja, dengan latar belakang keluarganya yang seperti itu. Disekolah Dodi yang memakan biaya sangat mahal perbulannya. Tidak dapat lagi diberikan pemakluman, setiap siswa wajib bayaran. Sekolah sudah menjadi ajang bisnis yang tak sehat. Ia beberapa kali dipanggil BP dengan dalih selalu nunggak bayaran UDB. Ditambah lagi tak ada guru-guru yang peduli. Pekerjaan  mereka hanya mengajar dan sibuk memikirkan kesempurnaan dunianya dengan kelebihan gaji sertifikasinya. Tidak sampai mereka sepeka itu terhadap muridnya sendiri. Teman-temanya juga, mereka lebih senang memiliki teman yang tak banyak masalah dan kaya tentunya. Sehingga tak mau berteman dengannya. Menurutku itu merupakan hal yang kuat penyebab Dodi menjadi  seperti sekarang.
Hari minggu ia tengah nongkrong sendiri diawarung sebrang jalan, lagi- lagi teman sekomplotannya datang.
’’Hai bos, besok  senin kita siap yo, ditempat biasa’’
“Masih gak kapok mereka”, udah beberapa kali pengkor juga”. Sahut  temanya.
 Biasanya ia  langsung naik amarahnya bila mendengar tantangan itu. Kali ini ia hanya menggangguk kepala dan terdiam sambil memadamkan rokok yang dihimpit oleh kedua jarinya ke tiang warung. Mungkin karena ada  sedikit ketakutan karena hari senin itu mereka yang sekarang kelas XIII akan Ujian Sekolah. Satu lagi yang membuatnya sedikit cemas, ibunya sakit lumayan parah dirumah dan hanya ditunggu oleh adinya yang masih kelas satu SD.
“Kenapa diem bos?” tanya temannya.
“Tapi, kita kan senin ujian bro  balas Dodi dengan lemas
“ Aduh bos itu,” balasnya seraya memegang kepala.
“Ini puncak men, pertarungan terakhir! masa mundur!”
“Oh, jadi gak solider sekarang” singgung yang paling ujung.
***
Kali ini mereka sengaja bersepakat pagi hari tuk memulai waktunya.
Dodi masih berada ditempat tidur, terbangunkan oleh suara getar handphone  di samping kepalanya. Sambil meraihnya dengan mata masih tertutup.
“ Kita tunggu di perempatan jalan!”
Pikirannya ganar,antara tauran dan ulangan. Tapi ia teringat juga perkataan  kawan-kawannya kemarin.
 “Masa gak solider” dalam benaknya terbayanga itu.
Segera ia melangkah. Ketika membuka pintu kamarnya, terlihat seorang tua berbadan kurus yang masih tidur lemas dengan wajah yang pucat. Sempat ia terpintas ingin membatalkan rencananya. Tapi ia malah meraih serulit dan gir motor dikolong tempat tidur yang  tepat berada di bawah kepala ibunya. Sebenarnya ia bisa saja tidak membawa peralatan itu, tapi demi kesempurnaan tauran ia membawanya. Kemudian keluarlah menemui beberapa temannya.
Dengan semua peralatan yang dibawanya,   pertarungan keduanya berlangsung   selama satu jam. Diberhentikan oleh hentakan pistol polisi. Serentak mereka berlarian berusaha menyelamatkan diri. Banyak yang berhasil diamankan polisi. Tapi Dodi juga berhasil. Melarikan diri dari polisi. Meski dengan tubuh yang dipenuhi memar merah, terdapat darah mengalir di hidungnya. Sesudah bersembunyi dan dilihatnya situasi sudah aman. Ia berjalan pulang dengan kaki pincang kesakitan. Baru ia akan masuk, pintu rumahnya sudah terbuka dan terdapat baju seragam SD yang tergeletak dibawah. Diliriknya lagi ketempat tidur, sudah kosong hanya tertinggal setesan darah di atas bantal yang kumel.
***
“Ibu!” panggilnya.
 beliau sudah berada dalam penjagaan dokter dan suster. Pak RT yang membawa ibunya ke rumah sakit mengusap kepala dodi. Ia tengah duduk menangis tersungkur membelakangi pintu ruangan tak tahan melihat ibunya ysng  sudah koma.
“Sudahlah, yang sabar nak” upahan pak RT. Mendengar itu, Dodi malah bangun dan pergi. Kemana?  Ia  dilantai paling atas. Tapi bukan di ruanagan melainkan dibalkon. Terbayang bukan? Disaat tengah malam, memaksakan tubuh yang kesakitan untuk berlari. Dodi berjalan menuju ke tepinya, beberapa langkah. Tinggal satu langkah lagi ke sisinya. Matanya menengok  kebawah sampai kedasar tanah, dilihatnya bayangan sejuta masalah. Dan perlahan Dodi mengambil napas, terdiam. Tiba-tiba ia bersujud menangis mohon  ampun atas kelakuannya kepada Yang Maha Kuasa. Ia menyesal.


Cianjur,    november 2014




Pernyataannya Hanya Kepada Kertas Saja
Menulis adalah hal yang amat disukainya. Entah apa yang menjadikannya selalu berdua dengan lembaran kertas yang dikepalnya kemanapun ia pergi. mungkin ia tak memiliki teman. Barangkali bukulah satu- satunya yang tak pernah meningglkannya, atau bahkan ia sendiri yang tak ingin berteman terlalu dekat dengan orang lain, bila kedekatannya itu hanya karena sebatas selagi dibutuhkan saja. Karna setahuku selama hidupnya jarang sekali ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya.  hampir setiap kali kumelihatnya jalan kaki sendirian,  pergi ke kampus dengan tas gendong merah muda  kesukaannya itu. Tapi satu hal yang masih membuatku penasaran, mukanya, mukanya selalu  dihiasi dengan senyuman yang penuh dengan semangat. Apa ia tak memiliki masalah? Termasuk dunia pertemanannya itu tidak dijadikannya masalah?  Ah, ko bisa seperti itu?
Pagi itu dengan kepenasaranku, tepat ia berada dipinggir jalan menuju kampus, sengaja kuikuti ia dibelakang, langkahnya tegak dengan penuh kepastian, keceriannya terlihat, ketika ia begitu menikmati perjalanannya hingga sepertinya tak terasa lelah hingga hampir sampai dkampus. Tapi, hal yang baru  aku ketahui pula ternyata, ia selalu menyempatkan untuk sholat sebelum masuk ke kelasnya. Tanpa disadarinya ia masuk ke mesjid, dan buku kesayangannya itu tertinggal di atas tembok WC . Aku tau niat ini salah, tapi niat itu berhasil kulakukan. kepenasaranku pula yang membuatku memberanikan diri untuk membuka bukunya itu. keinginanku hanya ingin mengetahui perjalanan hidupmu. Tanganku cukup bergetar membuka buku yang diberikan tanda pita merah muda, segera kubaca, dan inilah salah satu pernyataanya, 
“Aiiiiih,,, masih  ingat jalan menuju rumahku?  Pikirku saudara sudah lupa atau sengaja dilupakan sama seperti kontak namaku diposelmu. Atas keinginan apa saudara datang kepadaku? Ingin bercerita kebolehan upah pekerjaanmu atau  mungkin, ingin memberiku sehelai  kertas undangan? Syukurlah, bila memang begitu adanya. Biar saudara puas dengan keinginan kerasmu dan tentunya akupun teramat puas menuntaskan semua planingku. Sungguh!
Atau saudara belum seperti itu. Masih ingin melobi bualan kata-kata amatir kepadaku? jika masih ingin, seharusnya saudara tak datang lagi kepadaku  bila semata-mata hanya untuk menanyakan hal itu! Sikap saudara sendiri yang sudah mewakili jawbanmu itu, bukan? Rupanya  semua perkataan saudara tentang pengharapan- pengharapan  kebahagiaan sebagai senderan satu-satunya angan–anganku ketika memilihmu. karena setahuku kebahagian sesungguhnya itu datang ketika kita ikhlas menjalani kehidupan dengan penuh kasihsayang, bukan hanya sekedar karena harta semata. Tapi  Kini tinggal hanya sebatas angan- angan saja. ah, bila saja kau ada di sini mak, maka engkau akan menonton sendiri kenyataan – kenyataan  perih yang menimpa anak sulungmu ini. lukaku sama sekali belum  terobati, karena  dunia tak seperawan dulu, alam masih saja menangis, entah kapan datangnya sang  matahari yang dapat mengobatinya. Itu dia salah satu polemik diantara banyaknya polemik, kini alam sudah tak menentu  gelagatnya. Itukah penganalogian untuk  sikap manusia, mak?
Maaf saudara, aku tengah lama tak menengok kerabat juga orangtuamu di sini, bukan apa- apa. aku hanya tak ingin mengeluarkan lisan yang kotor atas kekesalanku karena sikapmu juga keluargamu dan kutak ingin menampilkan paras masam, tak enak dipandang, kepada kerabat- kerabat kayamu itu. Karena jujur saja aku belum bisa semanis miki didepan mereka,  karena itu hanya dibuat-buat, tak seasli madu. sedang dibelakang hatiku tengah kesal bahkan  dengan mengupatmu kudapat  melampiaskannya. oh ya, maaf juga   sempat kumarah-marah waktu itu, itu karena kutak tahan menahan  perihnya luka dihatiku yang sudah kritis. Malam itu pernah kukatakan kepadamu, bila saudara masih ingat tentu akan mengiyakan. Jika saudara melangkah satu langkah, maka aku akan membalas dua langkah atau bahkan lebih dan sebaliknya pun begitu. Maka itu ulah pembuktian akan perkataanku.
Tempo hari  ibumu berkata kepadaku, pun kepada orang lain diluar sana,
” sudah jangan dipaksakan, bilang saja tak mau!  jangan membuat dalih dengan alasan mengulur waktu”.
 Lalu siapa yang terpaksa?  Aku dengan permintaan mengulurkan waktu atas alasan yang tentu menunggu sang ibu,  dengan  pengharanpanku setidaknya dengan mengisi waktu itu  engkau dapat memperlihatkan perhatianmu supaya daku percaya kesungguhanmu? Ataukah engkau yang berada dalam keterpaksaan  dengan menimbulkan sikap  tak peduli, mengabaikan, tak berikan perhatian dan tetap kukuh terhadap keinginan saudara  mengenai  kesegeraan waktu? Kau berpikir keras sejenak !
“ siapakah yang sesungguhnya berada dalam keterpaksaan itu, saudaraku?”
Sebenarkanya aku sudah tak ingin membahas mengenai kisah klise ini, karena terlalu sakit bagiku. Luka lama pun masih belum lekas dilengan kanan hatiku, mengenai keluargaku.
 kenapa lagi-lagi kau harus menambahkan luka itu dilengan kiri hatiku? Uuh, kepada siapakah akan kukeluhkan, sedang tangan kanan telah menyakiti tangan kirinya.
Kau tahu? Bukankah Allah telah memerintahkan diantara laki-laki dan perempuan untuk saling berpasang- pasangan, dan  juga saling berkasih-kasih.
 “kenapa diantara kita harus menerima keterpaksaan itu?  Jawab saudaraku?”
Tidak cukupkah dengan kisah siti nurbaya ataukah kisah azab dan sengsara untuk sekedar mengingatkanmu? Atau kau memang ingin kisah itu masuk ke dalam kehidupanmu?
Aku belum dapat seperti  ibunya mariamin yang tetap setia kepada suaminya meski ia selalu disakiti dengan gelagat buruknya. Mau tau apa  jawabannya? Karena kau belum syah menjadi pasangan hidupku. Jadi ada rongga untukku memilah laki-laki yang benar- benar tulus mencintai pasangan hidupnya, bukan karena terpaksa.”
         
 Belum sampai pada akhir tulisannya, terdengar suara pintu mesjid membuka, segera ku tutup kembali dan kusimpan kembali. Maafkan aku wanita tangguh. Ya rasanya perjalannya itu, menuju  kepantasan  bila kupanggil wanita tangguh.
Cianjur, 20 sepember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar