Perempuan
Bernama N
Cerpen:
Hermawan Aksan
"KAU janji akan bercerita tentang sebuah kisah
cinta. "Ah, kisah cinta sudah begitu banyak diceritakan orang."
"Ceritakanlah.Aku tak pernah bosan membaca kisah cinta."
"Baiklah. Mungkin ini akan menjadi bahan cerita
pendekku. Aku ingin bercerita tentang seorang tokoh wanita. Tapi tak perlulah
kau tahu nama lengkapnya, ya. Aku memang sengaja menyebutnya begitu, demi
privasinya. Kalau aku menyebut inisialnya yang benar, bukan tak mungkin
rahasianya akan terbongkar. Bisa saja namanya berhuruf awal A atau S.Aku pilih
N karena perempuan kita banyak sekali yang namanya berhuruf awal N.
Bukankah kita mengenal nama
Nani, Nina, Neneng, Novi, dan yang seperti itu? Tapi aku juga memilih N karena
bisa menjadi singkatan no name, bukan siapasiapa, atau bisa siapa saja. Kalau
aku memilih huruf Z, misalnya, tentu akan lekas ketahuan karena nama yang
berawal huruf Z sangat sedikit.Aku tak mau memilih huruf P karena kok kesannya
negatif atau apalah. Dia perempuan biasa-biasa saja, pada mulanya. Maksudku,
dia bukan perempuan yang dalam pandangan pertama membuat lelaki jatuh cinta
kalau kau masih percaya ada cinta pada pandangan pertama atau yang seperti itu.
Dia perempuan yang sederhana, sungguh. Pakaiannya sederhana. Aku memang tak paham tentang
macam-macam harga busana, tapi aku yakin bajunya sederhana. Dia suka mengenakan
celana jins dan baju kaus lengan panjang. Tapi model celananya bukanlah model
yang memberikan kesempatan bagi sebagian pinggang bawah untuk menyembul
menyambut tatapan tak senonoh lelaki. Rambutnya selalu dibiarkan tergerai
hingga melewati bahu dan ada warna sedikit kemerahan di sana.
Aku sangat menyukai rambutnya. Sedikit warna merah itu
memberikan semacam kesan eksotis.Apa pun artinya itu. Nah, lelaki itu ‘biarkan
aku tak memberinya nama’ mengenal si perempuan pada sebuah acara diskusi buku
di CCF, pusat kebudayaan Prancis, Jalan Purnawarman, ketika di luar turun
gerimis yang membasah. Ia tidak dengan sengaja berkenalan, atau yang seperti
itu. Lelaki itu bukan macam lelaki yang senang menggoda perempuan,atau bisa
dengan segera memikat lawan jenisnya, atau apalah.
Mereka kebetulan saja duduk
bersebelahan di barisan paling belakang. Namun, apakah benar-benar sebuah
kebetulan, entahlah. Mungkin Tuhan sudah mengatur semua sisi kehidupan sampai
sekecil-kecilnya sehingga ketika lelaki itu duduk, di sebelahnya sudah duduk
seorang perempuan. Waktu itu berlangsung diskusi buku karya Andrea
Hirata.Sebuah novel baru oleh pengarang baru yang menggemparkan. Kontroversial,
sekaligus laris di pasaran. Pembicaranya adalah dua orang kritikus yang tak asing
lagi di jagat sastra kita: Jakob Sumardjo, mewakili generasi senior, dan Hawe
Setiawan, mewakili generasi (yang lebih) muda. Moderatornya adalah perempuan
pengarang yang cantik dengan rambut yang selalu berkerudung anggun, Nenden
Lilis Aisyah. Tidak seperti diskusi-diskusi buku selama ini, diskusi buku yang
satu ini dipadati pengunjung. Aneh juga. Biasanya diskusi buku apa pun ‘bahkan
buku hebat macam The Name of the Rose karya Umberto Eco’ hanya dihadiri tak
lebih dua puluh orang. Kali ini pengunjung banyak yang sampai berdiri. Kursi
yang berjumlah lebih dari seratus semuanya terisi. Mungkin karena di sana
berkumpul juga para dewa sastra yang selama ini memenuhi halaman-halaman media
massa situs-situs sastra. Sebutlah nama yang ada di kepalamu, semuanya ada di
sana. Kurnia Effendi, Sapardi Djoko Damono, Nirwan Dewanto, Soni Farid Maulana,
Akmal Nasery Basral, Eka Kurniawan, Aam Amilia, Tetet Cahyati, Senny Alwasilah,
Lan Fang, Endah Sulwesi, Hernadi Tanzil, dan sebagainya.
Karena lelaki itu bukanlah
siapasiapa, melainkan seorang penulis yang sedang-sedang saja, ia lebih suka
duduk di deretan belakang.Namun ternyata ia bersebelahan dengan perempuan yang
bukan sembarangan. Ia yakin usia perempuan itu sudah lewat empat puluh. Paling
tidak mendekati. Lima atau enam tahun lebih tua darinya, kirakira. Namun
sekilas perempuan itu kelihatan beberapa tahun lebih muda.Entah apakah dia
memang awet muda, entah karena penerangan di gedung CCF tak bisa membuat
wajahnya tampak jelas. Keremangan memang selalu menyamarkan garis-garis usia.
Ia langsung mengenal si perempuan karena,sekali lagi kukatakan,dia bukan
perempuan biasa. Dia penulis terkenal dan si lelaki,yang juga penggemar buku,
sudah membaca beberapa bukunya. Juga beberapa cerita pendeknya yang kerap
menghiasi halaman-halaman budaya media massa. "Saya suka karya-karya Mbak
N," kata lelaki itu. "O ya? Terima kasih sudah mau baca. Apa yang kau
suka?" "Cerita-cerita yang Mbak bikin selalu berkisah tentang
indahnya cinta dari sudut yang tak terduga."
"Ah, kamu mengada-ada. Karyaku belum apa-apa,
bahkan dibanding pengarang baru macam Andrea." "Mbak suka karya
Andrea?" "Dia memang mengagumkan.Setidaknya kalau dilihat bahwa ini
buku pertamanya. Juga kalau pengakuannya benar bahwa ia sebelumnya tak pernah
menulis apa pun, bahkan cerita pendek." "Tapi kata orang buku ini
kontroversial." "Ya, ada sejumlah data dan deskripsi yang tak masuk
akal, terutama karena si pengarang menyebut novelnya sebagai sebuah memoar
berdasarkan kisah nyata."
Si lelaki dan perempuan berinisial N itu kemudian
saling bertukar nomor telepon seluler. Kau tahu, seperti hasil kemajuan
teknologi macam apa pun, ponsel memang seperti pisau bermata ganda. Ponsel
memberi kita dua macam kemudahan: untuk berbuat baik dan berbuat tidak baik.
Lewat pesan singkat, N dan lelaki itu kerap berdiskusi tentang sastra, tentang
buku, tentang pergelaran seni. Tapi kemudian isi pesan bergeser ke arah yang
lebih pribadi. + Blh sy undang Mbak ktmu di Potluck? D sana kt bs diskusi bnyk
ttg sastra. Di SMS rsnya tlalu t’batas. - Knp tdk? Lalu keduanya bertemu di
kafe yang sekaligus perpustakaan itu. Si lelaki memesan espresso dan si perempuan cukup
capuccino. Tak kurang dari tiga jam mereka bercakap-cakap di sudut dekat
jendela kaca. Mereka bercakap-cakap tentang buku yang tengah mereka
baca.Kebetulan, keduanya sama-sama tengah membaca Snow Flower karya Lisa See.
"Buku yang luar biasa.Untung di sini tak pernah ada tradisi mengecilkan
kaki seperti itu," kata si perempuan berinisial N. "Saya nyaris tak
bisa melanjutkan baca. Ngeri membayangkannya," timpal si lelaki.
Pada kesempatan lain,
keduanya bertemu di BMC, Jalan Aceh. Kali ini, entah siapa yang memulai, si
lelaki berani memegang jemari N. Mengeluselusnya. Pada saat-saat berikutnya,
mereka bertemu di Dakken, CCF, RM Ikan Bakar, dan lain-lain. Sesuatu tumbuh di
dada si lelaki. Sebuah perasaan yang telah lama hilang. Maksudku,telah lama tak
dirasakannya. Ia selalu mengingat perempuan berinisial N itu, setiap saat,
setiap bangun tidur, tiap berangkat ke kantor, tiap menjelang tidur, bahkan ia
seperti selalu ingat meski dalam mimpi. + Sy spt remaja lg. - Aku jg. + Mgkn sy
jatuh cinta. - J + kt org ,jth cnt bs mmbuat kt produktif brkarya. - ktk jth
cnt, trcipta karya2 sastra. + sy ign jth cnt tiap hr. - jth cnt lah. + sy jth
cnt tiap hr pdmu. - J Dan begitulah, si lelaki menjadi banyak menciptakan karya
baru. Meski pemicunya adalah rasa jatuh cinta, karyanya
tidak mendayu-dayu. Sebab, ia sebenarnya memiliki bakat yang memadai untuk
menjadi penulis yang baik. Namun, hubungan mereka tidak bisa abadi seperti
dalam syair-syair. Entah siapa yang memulai, mereka makin lama makin jarang
mengirim SMS, dan tentu saja kian jarang bertemu. Apa alasannya, entahlah,
sebab tak ada hubungannya dengan sebuah peristiwa penting, misalnya tepergok
oleh suami perempuan berinisial N itu. Yang pasti, hubungan mereka baikbaik
saja. Kadang-kadang mereka masih bertemu secara tak sengaja, misalnya dalam
sebuah diskusi. Biasanya, mereka duduk berdekatan, tetap berbincang akrab, dan
masih senang berpegangan tangan. Apakah keduanya kemudian tak produktif lagi? Ternyata,
keduanya masih tetap menghasilkan karya kreatif yang baru. - kau msh jth cnt? +
apkh itu pntng? - J Nah, begitulah kisahku tentang cinta." "Aku bisa
menebak siapa perempuan itu." "Benarkah?" "Siapa lagi
perempuan penulis terkenal berambut kemerahan berinisial N?" "Tapi
dia belum tentu berinisial N." "Dia berinisial N," katanya
dengan bibir bergetar. Aku menatap istriku. Matanya basah. "Bukankah itu
sebuah pengakuan selingkuh? Bukankah lelaki itu adalah kau?" "Sayang,
itu tadi hanyalah sebuah cerita pendek." Dia menggeleng. Air matanya
menderas.***
Bandung,Maret 2007
Cerpen karya Motinggo busye
NASEHAT
UNTUK ANAKU

Waktu itu ayahmu sangat lapar sekali,
dan hari telah jam dua siang. Pagi harinya ayahmu belum sarapan, sebab keuangan tidak mengijinkan untuk makan tiga
kali satu hari dan harga beras itu dua puluh lima rupiah satu kilo. Kau
bayangkan, anakku, bis pertama muncul dalam keadaan penuh sesak, bis kedua yang
datang sejam kemudian juga penuh sesak sehingga orang-orang di dalam bis itu
seperti ikan pepesan layaknya. Bis
ketiga datang yang terlambat setengah jam dari semestinya karena lalu lintas
terganggu oleh kecelakaan yang berhimpit kecelakaan.menurut kabar ada seorang
anak sekolah rakyat ditabrak sebuah truk. Kemudian lalu lintas yang terganggu itu
terganggu lagi oleh beberapa oto pemadam kebakaran lewat yang bunyinya
meratap-ratap di jalan raya. Dan karena ratpannya itu, bis- bis, becak- becak
yang ditarik manusia dan mobil- mmobil pembesar pun diharuskan berhenti lebih
dulu. Ayah memaafkan hal itu., sebab pada waktu itu tiap-tiap orang haruslah
memiliki kesabaran atas dan maaf atas segala kejadian yang menimpa atau tidak
menimpa dirinya namun menimpa kepala orang lain.
Tentu pada saat engkau membaca nasehatku
ini, anakku, jalan- jalan sudah tak sempit lagi, bis-bis rakyat tentu sudah
banyak, dan becak-becak pun Ayah kira sudah tak ditarik oleh manusia lagi. Dan
mungkin pula, tiap-tiap orang tidak perlu lagi naik becak atau naik bis, tiap-tiap
keluarga sudah mempunyai mobil sendiri sebab tambanga emas, dan tambang-
tambang yang lainnya sudah membikin makmur bangsamu.
Pada hari ini anakku, yaitu pada waktu Ayahmu
membikin nasehat ini, adalah suatu hari yang mulia buat diriku, karena pada
hari itulah Ayah sempat merayakan ulang tahun yang kedua puluh lima.
Kebetulan pada hari ini, redaktur tempat ayah mengirimkan karangan sangat baik
hati. Dengan tanda tangannya disecarcik kertas
Ayah bisa pergi ke kantor majalah dan meminta uang honorarium karangan
yang berjumlah dua ratus rupiah. Biarpun nilai sebuah cerita pendek di masa
ayah membikin nasehat ini Cuma berharga beras delapan kilo, namun ayahmu tetap
bergembira, Ayah bawa seorang teman ke sebuah warung kopi dan kami minum-minum
di sana.
“Selamat ulang tahunmu,” kata teman Ayah.
“Terima kasih, “ jawabku.
“Kita anggap saja kita sekarang sedang
pesta.
Pesanlah makananan dan minuman apasaja
yang enak-enak,asal jangan melebihi melebihi dua ratus rupiah” kataku.
Teman Ayah tersenyum-senyum tetapi sebenarnya
dia kelaparan, dia pengarang juga tetapi ia benar- benar pengarang yang
mengantungkan leher dan perutnya serta kakinya yang dua itu kepada uang hasil
karangan.kereana itu, engakau jangan heran jika ayah katakan kepadamu, bahwa
temanku ini pernah dan sudah biasa tidak makan satu minggu. Untunglah dia belum beristri, belum
berkekasih, dan beranak. Untunglah semua keluarganya membenci dia, kerena dia
jadi pengarang itu, karena keluarganya memang orang-orang yang realis yang
menganggap para pengarang adalah pemburu- pemburu yang menembak rusa dia satu
lembah kelaparan. Tetapi temanku ini tetap tampak gembira, anakku, karena dengan
sikap keluarganya itu ia merasa tidak ada ikatan dengan satu orang pun di dunia
ini, merdeka di dunia ini, biarpun
kemerdekaan ini cuma angan- angannya saja. Tetapi waktu itu ayah berpikir
demikian: yang penting adalah manusia dan kemerdekaan hanya sebahagiaan saja
dari manusia. Orang menyebut kemerdekaan sebagai lambang rasa hormat pada diri
sendiri. Suatu kepuasan duniawi yang mengauskan hatinya sampai mati. Aku sedih
melihat manusia sekarang kata ayah, dalam hati waktu itu, dan ayah sambung pula
dalam hati: karena itu aku bertambah mengasihi manusia.
” kapan bukumu terbit.?” Tanya temanku
itu.
ayah kaget dan cepat- cepar sadar, sebab waktu
jaman itu manusia manuasia harus
lekas-lekas memutuskan sesuatu, sehingga antara kaget dan sadar hanya
sereduaratus saja. Beda waktunya.
“bukuku? Bulan Desember barangkali,”
jawabku.
“aku mau beli sebuah arloji”Jawabku.
“Arloji? Untuk apa arliji?”
“dengan arloji sebenarya orang bisa
menghitung waktu,
“
kenapa harus menghitung waktu?” tanyanya.
“dengan menghitung waktu, orang tau
berapa jam lagi hari malam. berapa jam lagi hari siang, lama-lama ia pun tahu,
berapa lama lagi ia akan bisa mempertahankan hidup kataku. “apa lagi yang kau
beli?”
“sebuah buku harian,”jawabku”
“sebuah buku harian?” “ya, sebuah buku harian, sebuah buku harian
lebih tinggi nilaninya dari pada arloji tadi, dalam buku harian itu aku bisa
menulis apa saja, yang bisa kutulis, dan aku takan bisa didakwa, atau ditangkap
oleh tulisan itu. aku bisa memaki langit, gedung-gedung, mobil-mobil, orang
dari tingkat dan pangkat apapun juga. Juga dengan buku harian itu akau
kehilangan rasa cemas dan takut, aku merasa jauh lebih merdeka dari pada kau.
Biarpun kemerdekaan itu kumiliki untuk dirirku sendiri saja,”kataku”
“apalagi?” “jangan memotong dulu,”
kataku” masih perllu disambung dalam buku harian itu juga bisa kucatata hutang
dan puitangku, yaitu neraca ekonomi. Kalau tiap-tiap orang bisa mengatur
prekonomian dirinya sendiri, itu berarti ia telah ikut menyumbang perekonomian
negaranya,. Biarpun sumbangan itu Cuma sepersembilan puluh juta, “kataku.”
“kau tentu bisa jadi menteri
perekonomian.” Katanya”.
“aku tentu tak bisa menjabat jabatan itu.
kalau aku jabat juga, maka ukurannya nanti disesuaikan dengan perekonomian
diriku sendiridan tidak untuk perekonomian semua orang. Tentu aku akan membeli
sembilan puluh juta arloji, umtuk semua orang didunia dan sembilan puluh juta
buku. Buku harian dan sembilan puluh juta pinsil. Atau pulpen. Aku tak mau
jabatan itu, biarpun ditawarkan karena aku merasa malu menjabat tugas yang aku
sendiri sadar bahwa diriku amat bodoh untuk tugas itu.”
Kawanku diam terpaku seperti
disihir tukang sulap.kemudian ia
bertanya.
“apalagi yang akan kau beli?”
“kalau bisa masuk akal, akan kubeli
salah satu planeta yang ada diangkasa itu,”jawabku.
“aku mau coba untung disana,”sambungku.
Ia tetawa terkekeh dan orang –orang
sekeliling itu menonton ketawanya. Ia seharusnya berhenti ketawa, tetapi ia
ketawa terus. Ia ketawa seperti orang- orang betul ketawa. Pada masa zaman ayah
membikin nasehat ini, anakku, banyak orang ketawa seperti temanku itu,
berjuta-juta banyaknya.
Pada jam delapan malam tadi, malam hari
ulanga tahun ayahmu, ayah menerima kabar dari seseorang, bahwa teman ayahku itu
telah memotong nadinya dengan pisau silet. hal ini amat memalukan sekali. Sebab
ada sepotong suratnya yang berbunyi “aku, sudah malu padaMu, Tuhan,karena aku
tidak menjalankan hidupku sebagai manusia yang wajar dan baik seperti yang kau
firmankan.”
Besok pagi ayahmu bermaksud ikut
menggali kubur untuk membenamkan mayat kawanku kedalam bumi ini.buatku sendiri
kematiannya tak begitu menyedihkan, karena sudah lazim terjadi yang demikian di
zamanku.
Sebenarnya nasehat ini, anakku,belum
tentu ada, jika temanku itu tidak bunuh
diri.
Bunuh diri adalah sifat yang paling
pengecut dan memalukan, anakku. Sekiranya engkau jadi penerbang ruang angkasa,
sekiranya, dan penerbanganmu itu gagal sehingga kau dilontarkan kembali ke bumi
dengan selamat, janganlah engkau malu.sekiranya engkau menjadi supir truk dan
kau bangunkan sebuah gedung yang miring, kau jangan tumbukkakn kepalamu ke
dinding gedung itu hingga kepalamu hancur.
Ayahmu yakin pada waktu kau membaca
nasehatku ini kau bisa jadi dan bisa kerja apa saja anakku. Tetapi janganlah
kau bercita-cita jadi seorang pengarang macam aku ini.
Mungkin sekali engakau ke perpustakaan
dan melihat cerita pendek dimana tertulis nama ayahmu dan bergerak hatimu ingin
berbuat hal yang sama.
Aku mempunyai banyak alasan melarangmu,
anakku. Tapi hanya bebebrapa alasan yang bisa kusebutkan seorang pengarang yang
baik selalu mencari kebenaran. Ide sebuah cerita yang ditulisnya haruslah
berdasarkan kebenaran. Tetapi kadang-kadang kebenaran dikalahkan dengan
kenyataan dan pada saat itulah para pengarang diuji. Suatu kenyataan mungkin
tidak benar anakku, karena itu ia harus berani disalib atau digantung untuk
suatu kebenaran.
Ayahmu merasa ganjil karena sebagai
pengarang, ia Cuma membutuhkan dua macam benda yang akan dibelinya pada saat
ini yaitu sebuah buku arloji dan sebuah buku harian. tetapi ayahmu merasa
bangga, sebab dengan dua buah benda itu dia dapat membuktikan kebenaran itu, kebenaran yang
dianutnya.
“aku mau tahu di mana arloji itu
sekarang. Itu benda bersejarah buatku, aku ingin mendapatkannya,”katamu.
“sayang, anakku”jawab ayahmu.
“kenapa?” tanyamu.
“Arloji itu telah kugadaikan untuk
membeli buku harian yang baru, sebab buku harian yang lama-lama sudah penuh
semuanya.”
“tentu sudah tidak bisa diambil lagi,”katamu.
“ya, ya. Tentu sudah daluwarsa. Tapi
kalau punya uang kau bisa membelinya ditoko-toko,”kataku.
“dan buku harian itu apakah isinya?”
“Macam-macam diantaranaya: kebenaran.
Tetapi buku harianku itu tidak dapat digadaikan dan yang kau baca ini tidak
adalah kutipan dari salah sebuah dari lembaran-lembaran buku harian itu, yang
bertanggal dua puluh satu November tepat pada hari ulang tahunku kedua puluh
lima.”
Anakku yang tercinta. Kalau kuakhiri
nasehat-nasehatku ini, pada waktu ini
engkau belum ada. Tambang emas itu pun belum dibuka. Tetapi aku punya usul:
bagaimana kalau kau berusaha untuk jadi insinyur pertambangan saja? Tetapi
jangan marah, anakku, ini cuma usul saja. Engkau memilih pilihan hidup ini sesuai
dengan kemampuan pikiran dan tenagamu, asal saja pilihan itu adalah pillihan
yang benar: tidak merugikan masa depanmu dan masa depan banyak manusia.
perempuan yang keramas sebelum tidur
karya alm. veven Sp Wardhana
Keinginan perempuan itu makin kuat untuk merendamkan diri dalam bathtub justru ketika suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya karena hari sudah malam.
Keramas malam-malam tak bagus untuk kesehatan,” kata suaminya.
“Oya?” celetuk perempuan itu datar ala kadarnya. Perempuan itu merasa senang atas peringatan suaminya. Berarti suaminya memerhatikannya. Memerhatikan kesehatannya.
“Ya. Gara-gara sering mandi malam, suami teman sekantorku kena paru-paru basah,” kata suaminya menjelaskan.
“Ooo, kan dia mandi malam. Bukan keramas,” pancing perempuan itu. Peringatan suaminya dia maknai sebagai bentuk perhatian yang memang membuat hatinya berkembang-kembang.
“Lha, mandi saja kena paru-paru basah, apalagi keramas. Kan kulit kepala lebih rentan dibanding badan,” kata suaminya masih membeberkan.
Perempuan itu makin yakin bahwa dia tidak salah telah memilih lelaki itu sebagai pendamping dalam hidupnya. Perempuan itu makin merasa tak bersalah langkah meninggalkan lelaki lain yang menjadi kekasihnya sekalipun para kekasih itu telah lebih dulu mengisi rongga hatinya, jauh sebelum lelaki yang kini menjadi suaminya itu dia kenal.
Perempuan itu bersetuju dengan yang diomongkan suaminya: batok kepala-sebetapa pun kerasnya, termasuk keras kepala- teramat mudah untuk disergap demam atau rasa sakit lainnya. Jangankan terkena air hujan, rincik hujan yang menempias dan memercik kepala suaminya pun sudah bisa menjadikan kepala suaminya berdentam-dentam seperti digodam-godam. Namun, diam-diam perempuan itu merumuskan: rambut boleh sama hitam, tapi kekuatan tengkorak kepala bisa berlain-lainan. Buktinya, perempuan itu bahkan senang berhujan-hujan. Dan itu bukan semata dia lakukan saat dia masih kanak-kanak di desanya, melainkan juga senantiasa ingin dia lakukan bahkan ketika dia sudah pindah ke Ibu Kota, memiliki kekasih, dan kemudian menikah. Dia bahkan kurang berkenan jika hanya rintik hujan yang menitik.
Karena perkiraan ketebalan tulang kepalanya berbeda dibandingkan dengan tengkorak kepala suaminya itulah diam-diam pula perempuan itu melanggar peringatan suaminya. Dia tetap saja membasahi kepalanya, meraup lendiran sampo, dan meruapkannya ke sela-sela rambutnya. Itu dia lakukan terutama jika dia benar-benar merasa gerah-jika tak keramas, saat tidur dia malah menjadi digusah gelisah. Tetap, untuk menghindari kemungkinan pertanyaan suaminya, dia senantiasa lebih dulu mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Perempuan itu tak akan meninggalkan kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar kering. Untuk waktu lama yang dia gunakan di dalam kamar mandi, suaminya tak pernah mempertanyakan karena sejak mereka masih berpacaran lelaki itu tahu benar bahwa perempuan itu senantiasa banyak menghabiskan waktunya dalam kamar mandi. Memang, perempuan itu jauh lebih bergegas saat berdandan di depan meja rias ketimbang berendam dalam kamar mandi.
Suaminya sangat memahami perempuan itu. Itu sebabnya saat merenovasi rumah mereka, suaminya merancang kamar mandi ber-bathtub, tak hanya ber-shower.
“Air yang memancur memang lebih mirip air yang menggerojok dari talang rumah waktu kamu berhujan-hujan dulu, waktu kanak-kanak. Tapi, aku ingin kamu lebih menikmati berendam dalam bathtub…,” kilah suaminya saat perempuan itu bertanya kenapa kamar mandinya harus juga ber-bathtub. Perempuan itu tahu, suaminya tak menyelesaikan kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Istrinya paham bahwa suaminya paham pula saat di desa dulu-saat perempuan itu masih kanak-kanak-juga kerap berendam di kolam mirip kubangan bersama-sama kerbau milik tetangganya yang digembala kawan sekolahnya.
Di kemudian hari, setelah rumah mereka selesai direnovasi, perempuan itu tak hanya berendam dalam bak mandi, tetapi juga sekaligus menyalakan shower-nya sehingga dia merasa berendam dalam kubangan di dalam guyuran air hujan.
Suaminya tak pernah mempersoalkan perempuan itu hanya berendam ataukah hanya membiarkan dirinya diguyur air pancuran kamar mandi atau mempergunakan dua-duanya dan lantai kamar mandi bukan saja basah-melainkan cipratan air juga menggenang menggeremang-karenanya. Suaminya hanya berkomentar: “Jangan mandi, apalagi keramas, malam-malam; nanti kedinginan. Nanti bisa sakit.”
Ujaran suaminya yang bernada larangan itu tak semata diucapkan sebelum perempuan itu masuk kamar mandi, tetapi bahkan juga setelah perempuan itu selesai mandi. Jika perempuan itu sudah selesai mandi, untuk apa pula peringatan dan larangan itu?
Keinginan perempuan itu makin mendesak-desak untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi justru karena suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya-dengan alasan: hari sudah larut malam.
Perempuan itu ingin mengenang makna peringatan suaminya sebagai bentuk lain dari rasa sayang. Perempuan itu merasa sudah kehilangan makna peringatan suaminya sebagai rasa cinta yang tak pernah bisa ditakar dan ditimbang-timbang. Dia merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Atau yang berubah justru diriku sendiri? Perempuan itu menggumam.
Perempuan itu merasa, jangankan peringatan, perhatian dari suaminya pun makin dia rasakan sebagai bentuk lain pelarangan.
“Suamiku makin menyia-nyiakan enerjinya untuk hal-hal yang tak perlu,” katanya suatu kali pada karibnya, yang juga karib suaminya. Mereka sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dalam istirahat jam kantor.
“Memperingatkan kamu untuk enggak keramas itu bukan larangan, dong. Kalaupun larangan, itu justru menunjukkan dia sayang kamu,” kata karibnya menanggapi.
“Ya, tapi kalau omongan itu terus diulang-ulang, bukan lagi kasih sayang namanya. Itu rutinitas. Itu mesin. Mechanical. Enggak ada yang spesial,” bantah perempuan itu.
“Lho, kamu memilih yang mana? Pilih dia diam saja tak memerhatikan atau pilih dia bicara memperingatkan?” sergah karibnya-yang juga perempuan.
“Kamu lebih pilih yang kedua?” perempuan itu balik bertanya.
“Sejujurnya, honestly, aku pilih suamiku mengomeli aku daripada sama sekali bungkam. Justru dengan begitu, aku merasa suamiku ada. He is exist beside me!”
Perempuan itu, waktu itu, membatin: hanya lantaran ingin menunjukkan dirinya ada, suamiku terus saja melarang-larangku. Padahal, tanpa omong sehuruf pun aku tahu dia ada bersamaku.
Belakang hari perempuan itu mencoba menimbang-nimbang bahwa suaminya sesungguhnya tak ada bersamanya, justru karena itu suaminya ingin menunjuk-nunjukkan diri bahwa dirinya senantiasa ada dengan cara melarang dan melarang-larang perempuan itu, istrinya, untuk berkeramas di malam hari. Apalagi menjelang tidur.
Perempuan itu makin yakin bahwa suaminya tak ada bersamanya-yang ada hanya raganya, sementara hatinya entah berada di titik koordinat mana-ketika suatu kali telinganya menerima bisikan karibnya bahwa suaminya kerap berjalan bersama dengan lain perempuan.
“Apakah aku mengenal perempuan lain itu?” tanya perempuan itu pada karib yang membisikinya.
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal perempuan itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan kan?” ujar karibnya.
“Ya, tapi apa salahnya berjalan bersama sih?” perempuan itu mencoba menghibur diri. Dia merasa, dia hanya membatin, namun ternyata karibnya mendengar kalimat penghibur itu. Apakah aku tak sekadar membatin, tapi malah melisankan suara batinku? Atau kawanku yang justru bisa mendengar suara batinku?
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau selalu bersama- bukan hanya sesekali-apa namanya?” karibnya berucap datar. Tak ada niat untuk membakar-bakar.
Karib itu kemudian menambahkan: dia tak hanya sekali melihat suami sahabatnya itu makan siang bersama di sebuah resto bersamaan dengan jam istirahat siang. Bahkan, sahabatnya mengaku pernah memergoki suaminya bersama perempuan lain itu di sebuah hotel di saat senja menjelang temaram malam.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” sergah perempuan itu. “Apakah kamu melihat suamiku dan perempuan itu masuk kamar hotel?”
“Terus terang, aku tak melihatnya. Tapi….”
Itulah awal mula perempuan itu merasa jengah saat saban kali suaminya mengingatkannya agar dia tak mengeramasi kepalanya jika hari sudah semakin malam. Perempuan itu bahkan terang-terangan menanggapi omongan suaminya tanpa sama sekali menahan gemuruh kecurigaan yang dalam dadanya tak mungkin luruh atau dia tanggalkan.
“Kepala ini kepalaku sendiri, rambut ini rambutku sendiri. Risikonya jadi tanggunganku sendiri,” katanya sambil menuju pintu kamar mandi. Perempuan itu berharap sebelum dia kuakkan pintu kamar mandi suaminya segera menambahi omongan atau menimpali. Ternyata, suaminya hanya sedikit mengangkat bahu-yang kira-kira bisa dimaknakan: ada apa dengan istriku?-itu pun tak diketahui perempuan itu karena suaminya ada di belakangnya dalam posisi yang tak terekam mata perempuan itu, selain di hadapan perempuan itu tiada cermin yang bisa memantulkan bayangan gerak-gerik suaminya.
Itu sebabnya, usai mandi, perempuan itu tak ingin berlama-lama memendam tanda tanya penuh penasaran atas suaminya. Perempuan itu membiarkan handuk masih menggelung kepalanya. Perempuan itu mau menunjukkan bahwa dia habis keramas. Perempuan itu ingin menandaskan bahwa larangan suaminya kali ini terang-terangan-tak lagi diam-diam-dia langgar.
“Habis keramas?” tanya suaminya sambil memandang gelungan handuk di kepalanya. Perempuan itu kecewa, suaminya tak menunjukkan amarah dalam kalimat tanya itu. Perempuan itu ingin suaminya murka sehingga dia mempunyai alasan untuk juga murka dan mengerkah suaminya dengan deretan pertanyaan perihal perempuan lain yang senantiasa makan siang dan masuk hotel bersama itu.
“Kamu enggak marah aku keramas?” pancing perempuan itu.
“Aku pernah marah sama kamu?” suaminya balik bertanya. Benar, suamiku tak pernah marah padaku. Apa pun musababnya. Itu sebabnya aku merasa bersyukur menjadi pilihan hidupnya.
“Kita sudah deal tak akan membawa problem kantor ke dalam kehidupan rumah tangga kita kan?” kata suaminya.
Perempuan itu masih ingat, itu kesepakatan bersama mereka. Bahkan perempuan itu sendiri yang merumuskan kalimat kesepakatan itu. Tapi, apakah makan siang dan masuk hotel bersama itu termasuk pekerjaan kantor suamiku?
“Ada persoalan pekerjaan yang mendesak untuk di-share bersama, Meisj?” kata suaminya yang dirasakan perempuan itu benar-benar penuh perhatian. Perhatian yang penuh dari suaminya itu pula yang kerap dengan cepat membuat hati perempuan itu menjadi trenyuh dan tenteram. Itu pula yang kemudian membuat perempuan itu merontokkan gemuruh kemurkaan dalam dadanya, sekalipun tetap saja dia melaporkan bisikan karib mereka perihal kebersamaan suaminya dengan lain perempuan.
“Siapa yang memberi informasi itu, Meisj? Aku mengenalnya?”
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal pemberi informasi itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan antara kamu mengenal dan tidak kan?” ucap perempuan itu. Dia sadar, itu kalimat karibnya yang dia kutip begitu saja dan apa adanya.
“Ya, apa salahnya berjalan bersama sih?” kata suaminya. Ah, kalimat yang sama pula yang kulontarkan pada karib kami!
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau tak hanya sesekali- tapi selalu-bersama, namanya apa itu, Schaat?” perempuan itu menyergah, tetapi dengan irama yang tetap tak sedang terbakar kemungkinan kemurkaan.
“Apakah mata informanmu itu benar-benar melihatku booking dan ngamar di hotel itu, Meisj?” masih dalam irama terjaga suaminya berucap.
Diam-diam perempuan itu mencatat, dialog dengan suaminya begitu bersejajar dengan dialognya dengan karib mereka. Hanya pengucapnya yang berbeda. Kalimat yang dia lontarkan pada sahabatnya, kini kalimat itu justru diucapkan suaminya. Kami benar-benar bersehati. Bukan sebatas bersekata dan bersekalimat! Itu juga yang pernah dikatakan suamiku.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” tiba-tiba kalimat suaminya memenggal pengembaraan perempuan itu pada permenungan singkat masa silam mereka.
“Maafkan aku, Schaat. Aku sudah salah sangka terhadapmu.”
Perempuan itu kemudian membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan suaminya yang dengan serta-merta menjemba dan merengkuhnya. Perempuan itu meminta maaf karena merasa terlalu simplistis menafsirkan sebuah informasi yang belum terbuktikan kebenarannya. Memang, tak ada yang salah dengan makan siang bersama. Perempuan itu juga pernah melakukan hal sama dengan teman lelaki sekantornya dan suaminya tahu itu karena dia memberi tahu lebih dulu suaminya sebelum dia berangkat menuju tempat makan siang di sebuah mal. Suaminya juga pernah makan siang bersama karib mereka yang menginformasikan perihal kebersamaan suaminya dengan perempuan lain-dan perempuan itu tahu karena suaminya meneleponnya lebih dulu.
Perempuan itu juga pernah ke sebuah hotel bersama lelaki sekantor lainnya. Mereka mengudap menu di sebuah kafe yang ada dalam bangunan hotel itu. Mereka menunggu longgarnya lalu lintas jalanan yang senantiasa mampet saban jam-jam pulang kantor. Suaminya tahu itu. Bahkan, suaminya kemudian menjemput perempuan itu dan perempuan itu memperkenalkan suaminya kepada lelaki sekantornya. Sama dengan yang pernah dilakukan perempuan itu saat menjemput suaminya di sebuah resto di simpang sembilan jalan. Hanya saja perempuan itu tak dikenalkan pada perempuan yang minum-minum bersama suaminya di saat senja itu lantaran mereka sudah saling kenal. Perempuan yang bersama suaminya adalah kawan karib mereka berdua.
MALAM itu, perempuan itu sangat ingin berkeramas sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya. Keinginan memberontak itu begitu mendesak-desak. Tapi suaminya belum pulang dari dinas luar kota. Bahkan luar pulau. Perempuan itu tak lagi ingat jam berapa hari ini suaminya akan mendarat di bandara. Sepanjang jam telepon seluler suaminya gagal dia hubungi. Setiap kali dia kontak ke nomor suaminya, jawabanya selalu: “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area….”
Senja itu, dalam perjalanan pulang kantor, karib yang memberi informasi perihal suaminya yang jalan bersama perempuan lain itu bersemobil dengan perempuan itu.
“Ada yang ingin kuinformasikan padamu,” ucap karibnya di telepon sebelum menyatakan hendak menemani perempuan itu pulang kantor.
“Tapi, aku enggak mampir kafe, lho. Aku mau langsung pulang,” jelas perempuan itu.
“Enggak apa-apa. Aku juga enggak bawa mobil kok. Mobilku sedang turun mesin. Gampang, kau turunkan aku di mana, nanti aku sambung pakai taksi saja,” kata karibnya sebelum mengatupkan gagang telepon.
Tak penting benar bagaimana rincian skenario karibnya pulang ke rumahnya yang lokasinya memang bertolak jauh dari rumah perempuan itu. Yang penting adalah yang diinformasikan karib itu perihal perempuan yang senantiasa bersama dengan suaminya.
“Perempuan lain itu kamu sangat kenal,” kata karibnya membuka informasi.
“Oya?” kata perempuan itu berdebar. Bersamaan dengan itu, sepeda motor tanpa pelat nomor polisi yang bergegas melintas nyaris menyenggol moncong mobilnya.
“Ya. Perempuan itu: aku….”
Perempuan itu menganggap karibnya sedang mencandainya. Ketika karibnya kemudian menyebutkan bahwa dia tahu persis letak bekas tancapan kuku di pinggul suaminya, barulah perempuan itu tersadarkan bahwa suaminya telah benar-benar mengkhianatinya. Bekas tancapan kuku di pinggul itu begitu tersembunyi letaknya. Bahkan suaminya sendiri selalu gagal untuk menengok dan memastikan rinciannya. Perempuan itu tahu benar detailnya karena kuku-kuku tangannya sendiri yang menancapnya saat dia menggapai gemuruh magma dalam persekelaminan pada malam pertama mereka.
Keinginan perempuan itu tak lagi meletup-letup untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi. Perempuan itu merasa dirinya tak lagi punya arti. Bukan saja suaminya yang telah mengkhianatinya, tapi juga sahabat karibnya yang sekaligus karib suaminya itu yang mengadalinya. Jika tak lagi punya makna dalam hidup ini, untuk apa pula aku hidup?
Perempuan itu tak lagi ingin mengeramasi rambutnya karena dia memang baru saja selesai membilas-bilas rambutnya. Dia tak merendamkan diri di bak mandi rumahnya. Dia tak mengguyur kepalanya dengan air pancuran di kamar mandinya.
Sebuah cottage di sebuah pantai di pinggiran kota, kamar mandinya penuh bercak merah. Dalam bak mandi maupun lantainya. Bak mandinya sengaja ditutup katupnya, lubang aliran pembuangan di lantai kamar mandi juga tertutup entah apa sehingga bercak-bercak merah itu tetap menggenang. Ada yang usai keramas di kamar mandi itu. Bukan sampo yang diraup dan diruapkan ke rambut kepala seseorang yang usai berkeramas. Yang dikeramaskan adalah gumpalan darah dari sepasang manusia yang kini terkapar di kamar tidur di sebelah kamar mandi.
Yang usai mengeramasi rambutnya adalah seorang perempuan yang pernah membaca legenda tentang perempuan yang moksa setelah mengeramasi rambutnya dengan darah seorang lelaki yang pernah memerkosanya.
Perempuan itu merasa sudah saatnya moksa. Perempuan itu merasa kinilah saatnya dia bertemu Tuhan. Dua malam lampau, dalam tidur lelap lantaran lelah menunggu suaminya yang tak juga pulang dari luar pulau, perempuan itu bermimpi ketemu Tuhan dan Tuhan berkata: “Sucikanlah dirimu sebelum Kujemput pulang.”
Perempuan itu merasa habis menyucikan dirinya dengan mengeramasi rambut, kepala, dan seluruh tubuhnya dengan darah suami dan kekasihnya.
Perempuan itu menyimpulkan: hidup dan mati hanyalah untuk Tuhan. Dia pernah mendengar kalimat itu-entah di mana. Hidupku selama ini hanya untuk urusan duniawi. Urusan duniawi terpuncakku adalah menggorok suami dan perempuan-kekasihnya. Perempuan itu merasa puncak keduniawian itulah titik untuk menyucikan diri dan meniti jalanan Tuhan. Perempuan itu kini meniti jalanan kota yang dipadati kendaraan yang lalu lalang dan basah karena guyuran hujan.
Perempuan itu sedari kanak-kanak suka berhujan-hujan.
Perempuan itu: aku…. *
perempuan yang keramas sebelum tidur
karya alm. veven Sp Wardhana
Keinginan perempuan itu makin kuat untuk merendamkan diri dalam bathtub justru ketika suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya karena hari sudah malam.
Keramas malam-malam tak bagus untuk kesehatan,” kata suaminya.
“Oya?” celetuk perempuan itu datar ala kadarnya. Perempuan itu merasa senang atas peringatan suaminya. Berarti suaminya memerhatikannya. Memerhatikan kesehatannya.
“Ya. Gara-gara sering mandi malam, suami teman sekantorku kena paru-paru basah,” kata suaminya menjelaskan.
“Ooo, kan dia mandi malam. Bukan keramas,” pancing perempuan itu. Peringatan suaminya dia maknai sebagai bentuk perhatian yang memang membuat hatinya berkembang-kembang.
“Lha, mandi saja kena paru-paru basah, apalagi keramas. Kan kulit kepala lebih rentan dibanding badan,” kata suaminya masih membeberkan.
Perempuan itu makin yakin bahwa dia tidak salah telah memilih lelaki itu sebagai pendamping dalam hidupnya. Perempuan itu makin merasa tak bersalah langkah meninggalkan lelaki lain yang menjadi kekasihnya sekalipun para kekasih itu telah lebih dulu mengisi rongga hatinya, jauh sebelum lelaki yang kini menjadi suaminya itu dia kenal.
Perempuan itu bersetuju dengan yang diomongkan suaminya: batok kepala-sebetapa pun kerasnya, termasuk keras kepala- teramat mudah untuk disergap demam atau rasa sakit lainnya. Jangankan terkena air hujan, rincik hujan yang menempias dan memercik kepala suaminya pun sudah bisa menjadikan kepala suaminya berdentam-dentam seperti digodam-godam. Namun, diam-diam perempuan itu merumuskan: rambut boleh sama hitam, tapi kekuatan tengkorak kepala bisa berlain-lainan. Buktinya, perempuan itu bahkan senang berhujan-hujan. Dan itu bukan semata dia lakukan saat dia masih kanak-kanak di desanya, melainkan juga senantiasa ingin dia lakukan bahkan ketika dia sudah pindah ke Ibu Kota, memiliki kekasih, dan kemudian menikah. Dia bahkan kurang berkenan jika hanya rintik hujan yang menitik.
Karena perkiraan ketebalan tulang kepalanya berbeda dibandingkan dengan tengkorak kepala suaminya itulah diam-diam pula perempuan itu melanggar peringatan suaminya. Dia tetap saja membasahi kepalanya, meraup lendiran sampo, dan meruapkannya ke sela-sela rambutnya. Itu dia lakukan terutama jika dia benar-benar merasa gerah-jika tak keramas, saat tidur dia malah menjadi digusah gelisah. Tetap, untuk menghindari kemungkinan pertanyaan suaminya, dia senantiasa lebih dulu mengeringkan rambutnya di kamar mandi. Perempuan itu tak akan meninggalkan kamar mandi sebelum rambutnya benar-benar kering. Untuk waktu lama yang dia gunakan di dalam kamar mandi, suaminya tak pernah mempertanyakan karena sejak mereka masih berpacaran lelaki itu tahu benar bahwa perempuan itu senantiasa banyak menghabiskan waktunya dalam kamar mandi. Memang, perempuan itu jauh lebih bergegas saat berdandan di depan meja rias ketimbang berendam dalam kamar mandi.
Suaminya sangat memahami perempuan itu. Itu sebabnya saat merenovasi rumah mereka, suaminya merancang kamar mandi ber-bathtub, tak hanya ber-shower.
“Air yang memancur memang lebih mirip air yang menggerojok dari talang rumah waktu kamu berhujan-hujan dulu, waktu kanak-kanak. Tapi, aku ingin kamu lebih menikmati berendam dalam bathtub…,” kilah suaminya saat perempuan itu bertanya kenapa kamar mandinya harus juga ber-bathtub. Perempuan itu tahu, suaminya tak menyelesaikan kalimatnya karena tak ingin menyinggung perasaan istrinya. Istrinya paham bahwa suaminya paham pula saat di desa dulu-saat perempuan itu masih kanak-kanak-juga kerap berendam di kolam mirip kubangan bersama-sama kerbau milik tetangganya yang digembala kawan sekolahnya.
Di kemudian hari, setelah rumah mereka selesai direnovasi, perempuan itu tak hanya berendam dalam bak mandi, tetapi juga sekaligus menyalakan shower-nya sehingga dia merasa berendam dalam kubangan di dalam guyuran air hujan.
Suaminya tak pernah mempersoalkan perempuan itu hanya berendam ataukah hanya membiarkan dirinya diguyur air pancuran kamar mandi atau mempergunakan dua-duanya dan lantai kamar mandi bukan saja basah-melainkan cipratan air juga menggenang menggeremang-karenanya. Suaminya hanya berkomentar: “Jangan mandi, apalagi keramas, malam-malam; nanti kedinginan. Nanti bisa sakit.”
Ujaran suaminya yang bernada larangan itu tak semata diucapkan sebelum perempuan itu masuk kamar mandi, tetapi bahkan juga setelah perempuan itu selesai mandi. Jika perempuan itu sudah selesai mandi, untuk apa pula peringatan dan larangan itu?
Keinginan perempuan itu makin mendesak-desak untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi justru karena suaminya mengingatkan agar dia tidak mengeramasi rambutnya-dengan alasan: hari sudah larut malam.
Perempuan itu ingin mengenang makna peringatan suaminya sebagai bentuk lain dari rasa sayang. Perempuan itu merasa sudah kehilangan makna peringatan suaminya sebagai rasa cinta yang tak pernah bisa ditakar dan ditimbang-timbang. Dia merasa ada yang berubah dalam diri suaminya. Atau yang berubah justru diriku sendiri? Perempuan itu menggumam.
Perempuan itu merasa, jangankan peringatan, perhatian dari suaminya pun makin dia rasakan sebagai bentuk lain pelarangan.
“Suamiku makin menyia-nyiakan enerjinya untuk hal-hal yang tak perlu,” katanya suatu kali pada karibnya, yang juga karib suaminya. Mereka sedang mencuri kesempatan untuk bisa bersama dalam istirahat jam kantor.
“Memperingatkan kamu untuk enggak keramas itu bukan larangan, dong. Kalaupun larangan, itu justru menunjukkan dia sayang kamu,” kata karibnya menanggapi.
“Ya, tapi kalau omongan itu terus diulang-ulang, bukan lagi kasih sayang namanya. Itu rutinitas. Itu mesin. Mechanical. Enggak ada yang spesial,” bantah perempuan itu.
“Lho, kamu memilih yang mana? Pilih dia diam saja tak memerhatikan atau pilih dia bicara memperingatkan?” sergah karibnya-yang juga perempuan.
“Kamu lebih pilih yang kedua?” perempuan itu balik bertanya.
“Sejujurnya, honestly, aku pilih suamiku mengomeli aku daripada sama sekali bungkam. Justru dengan begitu, aku merasa suamiku ada. He is exist beside me!”
Perempuan itu, waktu itu, membatin: hanya lantaran ingin menunjukkan dirinya ada, suamiku terus saja melarang-larangku. Padahal, tanpa omong sehuruf pun aku tahu dia ada bersamaku.
Belakang hari perempuan itu mencoba menimbang-nimbang bahwa suaminya sesungguhnya tak ada bersamanya, justru karena itu suaminya ingin menunjuk-nunjukkan diri bahwa dirinya senantiasa ada dengan cara melarang dan melarang-larang perempuan itu, istrinya, untuk berkeramas di malam hari. Apalagi menjelang tidur.
Perempuan itu makin yakin bahwa suaminya tak ada bersamanya-yang ada hanya raganya, sementara hatinya entah berada di titik koordinat mana-ketika suatu kali telinganya menerima bisikan karibnya bahwa suaminya kerap berjalan bersama dengan lain perempuan.
“Apakah aku mengenal perempuan lain itu?” tanya perempuan itu pada karib yang membisikinya.
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal perempuan itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan kan?” ujar karibnya.
“Ya, tapi apa salahnya berjalan bersama sih?” perempuan itu mencoba menghibur diri. Dia merasa, dia hanya membatin, namun ternyata karibnya mendengar kalimat penghibur itu. Apakah aku tak sekadar membatin, tapi malah melisankan suara batinku? Atau kawanku yang justru bisa mendengar suara batinku?
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau selalu bersama- bukan hanya sesekali-apa namanya?” karibnya berucap datar. Tak ada niat untuk membakar-bakar.
Karib itu kemudian menambahkan: dia tak hanya sekali melihat suami sahabatnya itu makan siang bersama di sebuah resto bersamaan dengan jam istirahat siang. Bahkan, sahabatnya mengaku pernah memergoki suaminya bersama perempuan lain itu di sebuah hotel di saat senja menjelang temaram malam.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” sergah perempuan itu. “Apakah kamu melihat suamiku dan perempuan itu masuk kamar hotel?”
“Terus terang, aku tak melihatnya. Tapi….”
Itulah awal mula perempuan itu merasa jengah saat saban kali suaminya mengingatkannya agar dia tak mengeramasi kepalanya jika hari sudah semakin malam. Perempuan itu bahkan terang-terangan menanggapi omongan suaminya tanpa sama sekali menahan gemuruh kecurigaan yang dalam dadanya tak mungkin luruh atau dia tanggalkan.
“Kepala ini kepalaku sendiri, rambut ini rambutku sendiri. Risikonya jadi tanggunganku sendiri,” katanya sambil menuju pintu kamar mandi. Perempuan itu berharap sebelum dia kuakkan pintu kamar mandi suaminya segera menambahi omongan atau menimpali. Ternyata, suaminya hanya sedikit mengangkat bahu-yang kira-kira bisa dimaknakan: ada apa dengan istriku?-itu pun tak diketahui perempuan itu karena suaminya ada di belakangnya dalam posisi yang tak terekam mata perempuan itu, selain di hadapan perempuan itu tiada cermin yang bisa memantulkan bayangan gerak-gerik suaminya.
Itu sebabnya, usai mandi, perempuan itu tak ingin berlama-lama memendam tanda tanya penuh penasaran atas suaminya. Perempuan itu membiarkan handuk masih menggelung kepalanya. Perempuan itu mau menunjukkan bahwa dia habis keramas. Perempuan itu ingin menandaskan bahwa larangan suaminya kali ini terang-terangan-tak lagi diam-diam-dia langgar.
“Habis keramas?” tanya suaminya sambil memandang gelungan handuk di kepalanya. Perempuan itu kecewa, suaminya tak menunjukkan amarah dalam kalimat tanya itu. Perempuan itu ingin suaminya murka sehingga dia mempunyai alasan untuk juga murka dan mengerkah suaminya dengan deretan pertanyaan perihal perempuan lain yang senantiasa makan siang dan masuk hotel bersama itu.
“Kamu enggak marah aku keramas?” pancing perempuan itu.
“Aku pernah marah sama kamu?” suaminya balik bertanya. Benar, suamiku tak pernah marah padaku. Apa pun musababnya. Itu sebabnya aku merasa bersyukur menjadi pilihan hidupnya.
“Kita sudah deal tak akan membawa problem kantor ke dalam kehidupan rumah tangga kita kan?” kata suaminya.
Perempuan itu masih ingat, itu kesepakatan bersama mereka. Bahkan perempuan itu sendiri yang merumuskan kalimat kesepakatan itu. Tapi, apakah makan siang dan masuk hotel bersama itu termasuk pekerjaan kantor suamiku?
“Ada persoalan pekerjaan yang mendesak untuk di-share bersama, Meisj?” kata suaminya yang dirasakan perempuan itu benar-benar penuh perhatian. Perhatian yang penuh dari suaminya itu pula yang kerap dengan cepat membuat hati perempuan itu menjadi trenyuh dan tenteram. Itu pula yang kemudian membuat perempuan itu merontokkan gemuruh kemurkaan dalam dadanya, sekalipun tetap saja dia melaporkan bisikan karib mereka perihal kebersamaan suaminya dengan lain perempuan.
“Siapa yang memberi informasi itu, Meisj? Aku mengenalnya?”
“Dalam kasus ini, tak penting kamu kenal pemberi informasi itu atau tidak. Tak ada perbedaan signifikan antara kamu mengenal dan tidak kan?” ucap perempuan itu. Dia sadar, itu kalimat karibnya yang dia kutip begitu saja dan apa adanya.
“Ya, apa salahnya berjalan bersama sih?” kata suaminya. Ah, kalimat yang sama pula yang kulontarkan pada karib kami!
“Tak ada yang salah memang. Tapi kalau tak hanya sesekali- tapi selalu-bersama, namanya apa itu, Schaat?” perempuan itu menyergah, tetapi dengan irama yang tetap tak sedang terbakar kemungkinan kemurkaan.
“Apakah mata informanmu itu benar-benar melihatku booking dan ngamar di hotel itu, Meisj?” masih dalam irama terjaga suaminya berucap.
Diam-diam perempuan itu mencatat, dialog dengan suaminya begitu bersejajar dengan dialognya dengan karib mereka. Hanya pengucapnya yang berbeda. Kalimat yang dia lontarkan pada sahabatnya, kini kalimat itu justru diucapkan suaminya. Kami benar-benar bersehati. Bukan sebatas bersekata dan bersekalimat! Itu juga yang pernah dikatakan suamiku.
“Apa yang salah dengan bersama di sebuah hotel?” tiba-tiba kalimat suaminya memenggal pengembaraan perempuan itu pada permenungan singkat masa silam mereka.
“Maafkan aku, Schaat. Aku sudah salah sangka terhadapmu.”
Perempuan itu kemudian membiarkan dirinya jatuh ke dalam pelukan suaminya yang dengan serta-merta menjemba dan merengkuhnya. Perempuan itu meminta maaf karena merasa terlalu simplistis menafsirkan sebuah informasi yang belum terbuktikan kebenarannya. Memang, tak ada yang salah dengan makan siang bersama. Perempuan itu juga pernah melakukan hal sama dengan teman lelaki sekantornya dan suaminya tahu itu karena dia memberi tahu lebih dulu suaminya sebelum dia berangkat menuju tempat makan siang di sebuah mal. Suaminya juga pernah makan siang bersama karib mereka yang menginformasikan perihal kebersamaan suaminya dengan perempuan lain-dan perempuan itu tahu karena suaminya meneleponnya lebih dulu.
Perempuan itu juga pernah ke sebuah hotel bersama lelaki sekantor lainnya. Mereka mengudap menu di sebuah kafe yang ada dalam bangunan hotel itu. Mereka menunggu longgarnya lalu lintas jalanan yang senantiasa mampet saban jam-jam pulang kantor. Suaminya tahu itu. Bahkan, suaminya kemudian menjemput perempuan itu dan perempuan itu memperkenalkan suaminya kepada lelaki sekantornya. Sama dengan yang pernah dilakukan perempuan itu saat menjemput suaminya di sebuah resto di simpang sembilan jalan. Hanya saja perempuan itu tak dikenalkan pada perempuan yang minum-minum bersama suaminya di saat senja itu lantaran mereka sudah saling kenal. Perempuan yang bersama suaminya adalah kawan karib mereka berdua.
MALAM itu, perempuan itu sangat ingin berkeramas sebagai bentuk pemberontakan pada suaminya. Keinginan memberontak itu begitu mendesak-desak. Tapi suaminya belum pulang dari dinas luar kota. Bahkan luar pulau. Perempuan itu tak lagi ingat jam berapa hari ini suaminya akan mendarat di bandara. Sepanjang jam telepon seluler suaminya gagal dia hubungi. Setiap kali dia kontak ke nomor suaminya, jawabanya selalu: “Nomor yang Anda hubungi sedang tidak aktif atau berada di luar service area….”
Senja itu, dalam perjalanan pulang kantor, karib yang memberi informasi perihal suaminya yang jalan bersama perempuan lain itu bersemobil dengan perempuan itu.
“Ada yang ingin kuinformasikan padamu,” ucap karibnya di telepon sebelum menyatakan hendak menemani perempuan itu pulang kantor.
“Tapi, aku enggak mampir kafe, lho. Aku mau langsung pulang,” jelas perempuan itu.
“Enggak apa-apa. Aku juga enggak bawa mobil kok. Mobilku sedang turun mesin. Gampang, kau turunkan aku di mana, nanti aku sambung pakai taksi saja,” kata karibnya sebelum mengatupkan gagang telepon.
Tak penting benar bagaimana rincian skenario karibnya pulang ke rumahnya yang lokasinya memang bertolak jauh dari rumah perempuan itu. Yang penting adalah yang diinformasikan karib itu perihal perempuan yang senantiasa bersama dengan suaminya.
“Perempuan lain itu kamu sangat kenal,” kata karibnya membuka informasi.
“Oya?” kata perempuan itu berdebar. Bersamaan dengan itu, sepeda motor tanpa pelat nomor polisi yang bergegas melintas nyaris menyenggol moncong mobilnya.
“Ya. Perempuan itu: aku….”
Perempuan itu menganggap karibnya sedang mencandainya. Ketika karibnya kemudian menyebutkan bahwa dia tahu persis letak bekas tancapan kuku di pinggul suaminya, barulah perempuan itu tersadarkan bahwa suaminya telah benar-benar mengkhianatinya. Bekas tancapan kuku di pinggul itu begitu tersembunyi letaknya. Bahkan suaminya sendiri selalu gagal untuk menengok dan memastikan rinciannya. Perempuan itu tahu benar detailnya karena kuku-kuku tangannya sendiri yang menancapnya saat dia menggapai gemuruh magma dalam persekelaminan pada malam pertama mereka.
Keinginan perempuan itu tak lagi meletup-letup untuk menenggelamkan diri dalam bak mandi. Perempuan itu merasa dirinya tak lagi punya arti. Bukan saja suaminya yang telah mengkhianatinya, tapi juga sahabat karibnya yang sekaligus karib suaminya itu yang mengadalinya. Jika tak lagi punya makna dalam hidup ini, untuk apa pula aku hidup?
Perempuan itu tak lagi ingin mengeramasi rambutnya karena dia memang baru saja selesai membilas-bilas rambutnya. Dia tak merendamkan diri di bak mandi rumahnya. Dia tak mengguyur kepalanya dengan air pancuran di kamar mandinya.
Sebuah cottage di sebuah pantai di pinggiran kota, kamar mandinya penuh bercak merah. Dalam bak mandi maupun lantainya. Bak mandinya sengaja ditutup katupnya, lubang aliran pembuangan di lantai kamar mandi juga tertutup entah apa sehingga bercak-bercak merah itu tetap menggenang. Ada yang usai keramas di kamar mandi itu. Bukan sampo yang diraup dan diruapkan ke rambut kepala seseorang yang usai berkeramas. Yang dikeramaskan adalah gumpalan darah dari sepasang manusia yang kini terkapar di kamar tidur di sebelah kamar mandi.
Yang usai mengeramasi rambutnya adalah seorang perempuan yang pernah membaca legenda tentang perempuan yang moksa setelah mengeramasi rambutnya dengan darah seorang lelaki yang pernah memerkosanya.
Perempuan itu merasa sudah saatnya moksa. Perempuan itu merasa kinilah saatnya dia bertemu Tuhan. Dua malam lampau, dalam tidur lelap lantaran lelah menunggu suaminya yang tak juga pulang dari luar pulau, perempuan itu bermimpi ketemu Tuhan dan Tuhan berkata: “Sucikanlah dirimu sebelum Kujemput pulang.”
Perempuan itu merasa habis menyucikan dirinya dengan mengeramasi rambut, kepala, dan seluruh tubuhnya dengan darah suami dan kekasihnya.
Perempuan itu menyimpulkan: hidup dan mati hanyalah untuk Tuhan. Dia pernah mendengar kalimat itu-entah di mana. Hidupku selama ini hanya untuk urusan duniawi. Urusan duniawi terpuncakku adalah menggorok suami dan perempuan-kekasihnya. Perempuan itu merasa puncak keduniawian itulah titik untuk menyucikan diri dan meniti jalanan Tuhan. Perempuan itu kini meniti jalanan kota yang dipadati kendaraan yang lalu lalang dan basah karena guyuran hujan.
Perempuan itu sedari kanak-kanak suka berhujan-hujan.
Perempuan itu: aku…. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar