Tentang
Wanita dan Lain-lain
Disaat penghuni rumah
terlelap tidur. Awan hitam pekat terlihat padat dalam lorong-lorong jendela.
Kemudian kucuran doa yang turut menjelma bersama dengan cucuran air mata
sembari menengadahkan kepala.Itu yang selalu dilakoninya disetiap sepertiga
malam.
Kehidupan
yang dijalani kini lebih terasa lega, meski tanpa seorang ibu. Kini ia
sudah pandai dalam meracik
waktu,mengurusi rumah dan mengurus keempat adiknya.Iya pantas saja karna
pengalaman yang cukup ketika mondok dulu selama kurang lebih empat
tahun,ditambah dengan keadaan dirumah yang mengikat saat ini menjadikannya
lebih dewasa.
Apalagi dalam hal
memobilsasi finansial, meski seorang wanita yang single, sekarang sudah mempunyai usaha pribadi yang besar dan
maju,sehingga mampu menjelma menjadi
seorang wanita karir plus seorang ibu.
***
Entah
virus apa yang menjadi penyebabnya dimasa itu?
hingga sekarang ia
tergeletak dalam tajamnya tanjakan kehidupan.Senyumannya kini tak semerbak
dulu,raganya lemah terwujudkan dari badannya yang kurus,kulit hitamnya kering
tak segar,suaranya serak terdengar tak
jelas, menutupi segudang kesedihan, hitam mengelilingi kelopak mata yang menjorok
kedalam,matanya redup sayu tak pancarkan lagi kebahagiaan. Hanya guyuran
tangisan yang menghiasi diwajahnya.
Setiap hari hanya
duduk sembari memeluk kaki dan menunudukan kepala. Sesekali ia diam
dan melamun, diatas sebuah ranjang yang
beralaskan busa tipis dan seprai tua,disebuah huniannya yang kecil dan kumuh. Perasaan
enggan menerima kepergian ibu terus menghantui,belum lagi bentakan ayah yang
selalu menjadi irama rutinan dalam rumah memadati telinganya. Ia tidak
menyadari ceramahan seorang ustadz yang
mengingatkan bahwa manusia harus
menerima Qadha dan Qadar atau ketentuan- ketentuan yang diberikan oleh Allah
SWT.
Masih
terus terbayang jelas ketika ibunya melangkahkan kaki pergi. Tangisan beberapa
anak kecil tak didengarnya dan jeritan
ngamuk anak dewasa yang tak sadarkan
diri,dihiraukannya.Hanya karena ia tak ingin tinggal bersama dengan suami yang
memiliki visi tak sama.Sudah kukatakan kepada ibuku bahwa aku tak sanggup untuk
ditinggalkannya, namun ia tetap mewujudkan niatnya.
Suatu
ketika ada perasaan bosan atas rutinitasnya.Pelan- pelan kumencoba memanfaatkan
anggota badan untuk menjalankan kegiatan rumah.
Aku mulai bergegas, seperti halnya memasak ,mencuci, mengurus anak-anak
sampai belanja untuk kebutuhan rumah. Sampai kurun waktu kurang lebih setengah
bulan.Namun tidak lama juga keadaan mengajaku beruntal.
Uang belanja mulai tak
tentu sehinnga tak mencukupi kebutuhan rumah.Anak-anak mulai bandel tidak dapat
terkendali,belum lagi biaya sekolah adiknya yang harus ia tanggung sendiri.
Saban hari ia sengaja
tidak berbelanja karena memang tak ada lagi bekal dikepalan tangannya,
tepat disaat matahari
berada sejajar dengan atas kepalanya,adik kecil itu baru pulang sekolah dengan
melemparkan tasnya diatas kasur dan menelantarkan seragamnya dipojok tembok,
ia menghampiri meja
makan,
”Kenapa tidak masak ka?”sembari membuka tutup
saji,
“Payaaah!“
“Kalau
begini caranya aku tak mau makan”!
”Sudah
makan saja yang pepes yang kemarin,itu sudah kaka hangatkan tadi pagi”
Jawab
sikakak dengan lemas semabari mengusap keringat yang melintas dikeningnya
ketika ia sedang menjilati lantai dengan jemarinya.
“Gak
mauu!”
“Ya
sudah minta uang saja!” kakinya gatal menendang-nendang meja makan
“Ayah
tidak menitipkan uang belanja apalagi untuk jajan,”
“Arkkhhh!”
Segera pergi
menutup pintu dengan tendangan kaki yang kesal dan marah.
Lagi-lagi
pintu yang ditendang itu tiba-tiba berdering. Perlahan ia menghampiri dan
membuka pintunya,ternyata yang diliriknya adalah orang yang menodong utang
dengan paksa,kakiku bergetar tak henti. Kepalaku juga pusing dikelilingi
masalah,aku tak bisa membayarnya,hanya meminta waktu untuk melunasinya,disaat
itulah akumemutuskan untuk pergi. Kemana? Entahlah, keinginanku hanya ingin
pergi menjauhi masalah yang mencekikku, disepanjang perjalanan menangis terisak
tak henti. Pada akhirnya ia putuskan untuk pergi kepondok dulu, disana ia
mendapati secercah dukungan dan harapan, dadanya mulai perlahan menghisap udara
dengan lega.