Kenapa mesjid, aira?
Sepertinya tak ada hal yang dapat membahagiakan
hari-harinya. Setiap melihatnya pasti bibirnya
cembrut, ia jarang sekali tersenyum,
raut wajahnya kusut, pandangan matanya sinis, setiap bertemu dengan orang lain,
sekalipun ia mengenalnya, sangat sulit ia sapa. Enggan basa-basi layaknya
perempuan ramah. Dini namanya.
Siangnya, Sinar mentari sangat menyerang setiap
kepala membuat mereka mengerutkan kelopak matanya, terompet klakson diparkiran
lagi-lagi memenuhi telingaku, hilir mudik mahasisiwa menambah bising kepalaku,
ya. kuputuskan nongkrong di kantin saja.
“Kemana aira?”
“ Kesini din,ke mesjid”.
Jawabnya sambil jalan setengah lari, matanya tanpa
melirikku. Entah kenapa dahiku mengerut seketika, dan berpikir sejenak.
“ aneh anak itu disaat sibuk seperti ini saja
masih pergi ke mesjid”.
Esok harinya, hari rabu, pagi itu aku terbangun
dengan guyuran air ember dan semprotan ceramahan, hadiah menyeramkan dari bapakku. kubuka perlahan kelopak mataku
dan kuusap muka yang sudah basah kuyup itu. Dan akhirnya aku kesiangan ngampus,
ini gara-gara semalaman gadang sama teman, ternyata pintu kelas sudah ditutup
oleh penguasa yang tak lagi menerima mahasiswa lena.
” Tak apa, seperti biasa ke kantin saja.”
Ujarnya tanpa rasa sedikitpun bersalah. Ia berjalan
dengan wajah cembrut seperti biasanya, tiba-tiba
ia terpeleset di depan orang banyak, sampai di mereka ketawa ngakak.
“Ah, dasar rabu sial”.
Katanya, sambil melanjutkan jalannya dan menendang
aqua kosong yang berada di depan sepatunya. Tanpa terkira aqua itu
terdampar diteras mesjid. Dan kulihat
wanita berhijab dengan wajah bersinar, matanya sejernih embun, pribadinya
anggun dan ramah, membuat hati kita terbawa tenang, dan itu khumaira ternyata. Ia sedang
duduk diteras sambil memakai sepatu, ia tersenyum tulus, dan menyimpan aqua itu ke tempat sampah.
***
Tuhan, inikah
jawabannya, bila kutak menemui rumah-Mu?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar