Sabtu, 28 November 2015

latifah menulis


Perempuan berbuku


Menulis adalah hal yang amat disukainya. Entah apa yang menjadikannya selalu berdua dengan lembaran kertas yang dikepalnya kemanapun ia pergi. mungkin ia tak memiliki teman. Barangkali bukulah satu- satunya yang tak pernah meningglkannya, atau bahkan ia sendiri yang tak ingin berteman terlalu dekat dengan orang lain, bila kedekatannya itu hanya karena sebatas selagi dibutuhkan saja. Karna setahuku selama hidupnya jarang sekali ia bisa berkumpul dengan teman sebayanya.  hampir setiap kali kumelihatnya jalan kaki sendirian,  pergi ke kampus dengan tas gendong merah muda  kesukaannya itu. Tapi satu hal yang masih membuatku penasaran, mukanya, mukanya selalu  dihiasi dengan senyuman yang penuh dengan semangat. Apa ia tak memiliki masalah? Termasuk dunia pertemanannya itu tidak dijadikannya masalah?  Ah, ko bisa seperti itu?
Pagi itu dengan kepenasaranku, tepat ia berada dipinggir jalan menuju kampus, sengaja kuikuti ia dibelakang, langkahnya tegak dengan penuh kepastian, keceriannya terlihat, ketika ia begitu menikmati perjalanannya hingga sepertinya tak terasa lelah hingga hampir sampai dkampus. Tapi, hal yang baru  aku ketahui pula ternyata, ia selalu menyempatkan untuk sholat sebelum masuk ke kelasnya. Tanpa disadarinya ia masuk ke mesjid, dan buku kesayangannya itu tertinggal di atas tembok WC . Aku tau niat ini salah, tapi niat itu berhasil kulakukan. kepenasaranku pula yang membuatku memberanikan diri untuk membuka bukunya itu. keinginanku hanya ingin mengetahui perjalanan hidupmu. Tanganku cukup bergetar membuka buku yang diberikan tanda pita merah muda, segera kubaca, dan inilah salah satu pernyataanya, 

“Aiiiiih,,, masih  ingat jalan menuju rumahku?  Pikirku saudara sudah lupa atau sengaja dilupakan sama seperti kontak namaku diposelmu. Atas keinginan apa saudara datang kepadaku? Ingin bercerita kebolehan upah pekerjaanmu atau  mungkin, ingin memberiku sehelai  kertas undangan? Syukurlah, bila memang begitu adanya. Biar saudara puas dengan keinginan kerasmu dan tentunya akupun teramat puas menuntaskan semua planingku. Sungguh!
Atau saudara belum seperti itu. Masih ingin melobi bualan kata-kata amatir kepadaku? jika masih ingin, seharusnya saudara tak datang lagi kepadaku  bila semata-mata hanya untuk menanyakan hal itu! Sikap saudara sendiri yang sudah mewakili jawbanmu itu, bukan? Rupanya  semua perkataan saudara tentang pengharapan- pengharapan  kebahagiaan sebagai senderan satu-satunya angan–anganku ketika memilihmu. karena setahuku kebahagian sesungguhnya itu datang ketika kita ikhlas menjalani kehidupan dengan penuh kasihsayang, bukan hanya sekedar karena harta semata. Tapi  Kini tinggal hanya sebatas angan- angan saja. ah, bila saja kau ada di sini mak, maka engkau akan menonton sendiri kenyataan – kenyataan  perih yang menimpa anak sulungmu ini. lukaku sama sekali belum  terobati, karena  dunia tak seperawan dulu, alam masih saja menangis, entah kapan datangnya sang  matahari yang dapat mengobatinya. Itu dia salah satu polemik diantara banyaknya polemik, kini alam sudah tak menentu  gelagatnya. Itukah penganalogian untuk  sikap manusia, mak?
Maaf saudara, aku tengah lama tak menengok kerabat juga orangtuamu di sini, bukan apa- apa. aku hanya tak ingin mengeluarkan lisan yang kotor atas kekesalanku karena sikapmu juga keluargamu dan kutak ingin menampilkan paras masam, tak enak dipandang, kepada kerabat- kerabat kayamu itu. Karena jujur saja aku belum bisa semanis miki didepan mereka,  karena itu hanya dibuat-buat, tak seasli madu. sedang dibelakang hatiku tengah kesal bahkan  dengan mengupatmu kudapat  melampiaskannya. oh ya, maaf juga   sempat kumarah-marah waktu itu, itu karena kutak tahan menahan  perihnya luka dihatiku yang sudah kritis. Malam itu pernah kukatakan kepadamu, bila saudara masih ingat tentu akan mengiyakan. Jika saudara melangkah satu langkah, maka aku akan membalas dua langkah atau bahkan lebih dan sebaliknya pun begitu. Maka itu ulah pembuktian akan perkataanku.
Tempo hari  ibumu berkata kepadaku, pun kepada orang lain diluar sana,
” sudah jangan dipaksakan, bilang saja tak mau!  jangan membuat dalih dengan alasan mengulur waktu”.
 Lalu siapa yang terpaksa?  Aku dengan permintaan mengulurkan waktu atas alasan yang tentu menunggu sang ibu,  dengan  pengharanpanku setidaknya dengan mengisi waktu itu  engkau dapat memperlihatkan perhatianmu supaya daku percaya kesungguhanmu? Ataukah engkau yang berada dalam keterpaksaan  dengan menimbulkan sikap  tak peduli, mengabaikan, tak berikan perhatian dan tetap kukuh terhadap keinginan saudara  mengenai  kesegeraan waktu? Kau berpikir keras sejenak !
“ siapakah yang sesungguhnya berada dalam keterpaksaan itu, saudaraku?”
Sebenarkanya aku sudah tak ingin membahas mengenai kisah klise ini, karena terlalu sakit bagiku. Luka lama pun masih belum lekas dilengan kanan hatiku, mengenai keluargaku.
 kenapa lagi-lagi kau harus menambahkan luka itu dilengan kiri hatiku? Uuh, kepada siapakah akan kukeluhkan, sedang tangan kanan telah menyakiti tangan kirinya.
Kau tahu? Bukankah Allah telah memerintahkan diantara laki-laki dan perempuan untuk saling berpasang- pasangan, dan  juga saling berkasih-kasih.
 “kenapa diantara kita harus menerima keterpaksaan itu?  Jawab saudaraku?”
Tidak cukupkah dengan kisah siti nurbaya ataukah kisah azab dan sengsara untuk sekedar mengingatkanmu? Atau kau memang ingin kisah itu masuk ke dalam kehidupanmu?
Aku belum dapat seperti  ibunya mariamin yang tetap setia kepada suaminya meski ia selalu disakiti dengan gelagat buruknya. Mau tau apa  jawabannya? Karena kau belum syah menjadi pasangan hidupku. Jadi ada rongga untukku memilah laki-laki yang benar- benar tulus mencintai pasangan hidupnya, bukan karena terpaksa.”
         
 Belum sampai pada akhir tulisannya, terdengar suara pintu mesjid membuka, segera ku tutup kembali dan kusimpan kembali. Maafkan aku wanita tangguh. Ya rasanya perjalannya itu, menuju  kepantasan  bila kupanggil wanita tangguh.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar