Perempuan berbuku

Pagi itu dengan kepenasaranku,
tepat ia berada dipinggir jalan menuju kampus, sengaja kuikuti ia dibelakang,
langkahnya tegak dengan penuh kepastian, keceriannya terlihat, ketika ia begitu
menikmati perjalanannya hingga sepertinya tak terasa lelah hingga hampir sampai
dkampus. Tapi, hal yang baru aku ketahui
pula ternyata, ia selalu menyempatkan untuk sholat sebelum masuk ke kelasnya. Tanpa
disadarinya ia masuk ke mesjid, dan buku kesayangannya itu tertinggal di atas
tembok WC . Aku tau niat ini salah, tapi niat itu berhasil kulakukan.
kepenasaranku pula yang membuatku memberanikan diri untuk membuka bukunya itu. keinginanku
hanya ingin mengetahui perjalanan hidupmu. Tanganku cukup bergetar membuka buku
yang diberikan tanda pita merah muda, segera kubaca, dan inilah salah satu
pernyataanya,
“Aiiiiih,,, masih ingat
jalan menuju rumahku? Pikirku saudara sudah
lupa atau sengaja dilupakan sama seperti kontak namaku diposelmu. Atas
keinginan apa saudara datang kepadaku? Ingin bercerita kebolehan upah
pekerjaanmu atau mungkin, ingin
memberiku sehelai kertas undangan? Syukurlah,
bila memang begitu adanya. Biar saudara puas dengan keinginan kerasmu dan tentunya
akupun teramat puas menuntaskan semua planingku.
Sungguh!
Atau saudara belum seperti itu. Masih ingin melobi bualan
kata-kata amatir kepadaku? jika masih ingin, seharusnya saudara tak datang lagi
kepadaku bila semata-mata hanya untuk
menanyakan hal itu! Sikap saudara sendiri yang sudah mewakili jawbanmu itu,
bukan? Rupanya semua perkataan saudara
tentang pengharapan- pengharapan
kebahagiaan sebagai senderan satu-satunya angan–anganku ketika
memilihmu. karena setahuku kebahagian sesungguhnya itu datang ketika kita
ikhlas menjalani kehidupan dengan penuh kasihsayang, bukan hanya sekedar karena
harta semata. Tapi Kini tinggal hanya
sebatas angan- angan saja. ah, bila saja kau ada di sini mak, maka engkau akan
menonton sendiri kenyataan – kenyataan
perih yang menimpa anak sulungmu ini. lukaku sama sekali belum terobati, karena dunia tak seperawan dulu, alam masih saja menangis,
entah kapan datangnya sang matahari yang
dapat mengobatinya. Itu dia salah satu polemik diantara banyaknya polemik, kini
alam sudah tak menentu gelagatnya. Itukah
penganalogian untuk sikap manusia, mak?
Maaf saudara, aku tengah lama tak menengok kerabat juga
orangtuamu di sini, bukan apa- apa. aku hanya tak ingin mengeluarkan lisan yang
kotor atas kekesalanku karena sikapmu juga keluargamu dan kutak ingin
menampilkan paras masam, tak enak dipandang, kepada kerabat- kerabat kayamu
itu. Karena jujur saja aku belum bisa semanis miki didepan mereka, karena itu hanya dibuat-buat, tak seasli
madu. sedang dibelakang hatiku tengah kesal bahkan dengan mengupatmu kudapat melampiaskannya. oh ya, maaf juga sempat
kumarah-marah waktu itu, itu karena kutak tahan menahan perihnya luka dihatiku yang sudah kritis.
Malam itu pernah kukatakan kepadamu, bila saudara masih ingat tentu akan
mengiyakan. Jika saudara melangkah satu langkah, maka aku akan membalas dua
langkah atau bahkan lebih dan sebaliknya pun begitu. Maka itu ulah pembuktian
akan perkataanku.
Tempo hari ibumu
berkata kepadaku, pun kepada orang lain diluar sana,
” sudah
jangan dipaksakan, bilang saja tak mau! jangan membuat dalih dengan alasan mengulur
waktu”.
Lalu siapa yang terpaksa? Aku dengan permintaan mengulurkan waktu atas
alasan yang tentu menunggu sang ibu, dengan
pengharanpanku setidaknya dengan mengisi waktu itu engkau dapat memperlihatkan perhatianmu supaya
daku percaya kesungguhanmu? Ataukah engkau yang berada dalam keterpaksaan dengan menimbulkan sikap tak peduli, mengabaikan, tak berikan
perhatian dan tetap kukuh terhadap keinginan saudara mengenai
kesegeraan waktu? Kau berpikir keras sejenak !
“ siapakah
yang sesungguhnya berada dalam keterpaksaan itu, saudaraku?”
Sebenarkanya
aku sudah tak ingin membahas mengenai kisah klise ini, karena terlalu sakit
bagiku. Luka lama pun masih belum lekas dilengan kanan hatiku, mengenai
keluargaku.
kenapa lagi-lagi kau
harus menambahkan luka itu dilengan kiri hatiku? Uuh, kepada siapakah akan
kukeluhkan, sedang tangan kanan telah menyakiti tangan kirinya.
Kau tahu?
Bukankah Allah telah memerintahkan diantara laki-laki dan perempuan untuk
saling berpasang- pasangan, dan juga saling
berkasih-kasih.
“kenapa diantara kita harus menerima
keterpaksaan itu? Jawab saudaraku?”
Tidak
cukupkah dengan kisah siti nurbaya ataukah kisah azab dan sengsara untuk
sekedar mengingatkanmu? Atau kau memang ingin kisah itu masuk ke dalam
kehidupanmu?
Aku belum dapat seperti
ibunya mariamin yang tetap setia kepada suaminya meski ia selalu
disakiti dengan gelagat buruknya. Mau tau apa
jawabannya? Karena kau belum syah menjadi pasangan hidupku. Jadi ada
rongga untukku memilah laki-laki yang benar- benar tulus mencintai pasangan
hidupnya, bukan karena terpaksa.”
Belum sampai pada akhir
tulisannya, terdengar suara pintu mesjid membuka, segera ku tutup kembali dan
kusimpan kembali. Maafkan aku wanita tangguh. Ya rasanya perjalannya itu,
menuju kepantasan bila kupanggil wanita tangguh.