Latifah
Kamis, 15 Oktober 2020
Sabtu, 19 November 2016
Cerpen Putu Wijaya (Kompas, 25 September 2016)
1.
Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku lahir. Aku ingin berenang, tenggelam dalam sejarah. Agar aku tahu arah yang benar dalam meneruskan langkah.
Sejarahku mentok, berhenti sebelum aku lahir. Jadi biar pun sejarahku ngelotok, sampai tahu berapa ekor nyamuk sudah terbunuh dalam kamar ini, aku tetap saja buta ke masa lalu. Maka terus-terang sejarahku tidak afdol. Dan itu membuat panca inderaku cacat. Timpang.
Mataku, kupingku, mulutku, alat peraba, penciuman, terutama perasaanku tidak komplit. Semua yang tertangkap jadi tidak bulat, lengkap, tuntas, tapi hanya sebagian-sebagian. Bahkan celakanya, tak jelas, itu sebagian besar atau sebagian kecil?
Karena itu tolong las bolong-bolongku! Tambal, sulam, supaya air yang kuciduk tidak berceceran dan akhirnya sudah capek-capek turun ke lembah, mendaki bukit bawa air untuk menyirami tanaman di kebun, sampai di rumah emberku kosong. Semua akan marah. Aku bisa frustrasi dan seluruh tanamanku terancam mati.
Jadi ayolah, ceritakan sejarah yang lengkap, jangan ada yang ketinggalan. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Sejarah bukan cerita fiksi untuk menobatkan seorang pelaku jadi pahlawan. Juga bukan sebaliknya! Sejarah bukan tuduhan jaksa untuk menyeret seorang bandit narkoba ke vonis pidana mati.
Sejarah biarkan jadi sejarah saja. Jangan diubah, direnovasi, dipugar atau dimanfaatkan untuk keperluan lain. Biarkan sejarah tetap bagai bianglala peristiwa, prisma berwarna Newton, supaya jadi cermin putih yang mampu menampilkan bayangan semua orang dengan jujur tak memihak.
Ayo cepat, jangan tunda-tunda lagi! Tuturkan sejarah selengkapnya dengan sederhana, apa adanya. Jangan didandani dengan emosi. Jangan meniru gaya para pembawa berita di TV swasta yang sudah membawakan berita yang ditulis menurut kemauan pemilik TV dan dibaca dengan ironi yang sudah dipesan untuk kemenangan kompetisi politik.
Paparkan saja sejarah seadanya. Biarkan pahit tetap pahit, manis terus manis, lepas saja apa adanya. Tak perlu dikomentari, jangan dipandu dengan interpretasi.
Sejarah bukan orang jompo, bukan orang stroke, bukan tunanetra yang harus dibantu perawat. Sejarah akan bergerak menurut kodratnya sendiri. Tak perlu ditata dulu jadi puisi supaya menggigit. Atau dibalut pesan moral supaya beriman. Karena itu bukan nantinya mencuci tapi melumpuhkan saraf.
Silakan mulai, mulai saja tuturkan tanpa seremoni. Biarlah sekarang aku diguyurnya, sebelum keadaan parah, sebelum, sebelum, ya, ya mulai saja, mulai saja begitu, aku dengar sembari aku mulai tidur, grrrrrr grrrr grrrrr, grrrrr gerrrr….
2.
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa melihat tapi terbatas. Mendengar juga cuma sepotong. Aku tak bisa menyimpulkan.
Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang. Kalau takut, mata aku pejam, ibulah yang lebih tahu. Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang terpaksa aku dengar.
Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan dari mimpi. Dikejar setan dalam tidur, aku bisa meloncat bangun dan setannya tak bisa memburu keluar. Tapi dalam kejadian nyata, kalau mau lari, kemana?
Jadi lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu. Kuanggap seperti tak pernah terjadi. Karena aku tak mengerti.
Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku sesudah seharian mengejar capung di lapangan, subuh itu ditarik keluar rumah.
Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup kepalaku dengan selimut. Tapi waktu dia mengintip keluar dari kisi-kisi dinding, aku ikut ngintip.
Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek mengangkat kelewang dan aku tak sadarkan diri. Waktu aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat bapak.
Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh, mungkin tak kembali sampai kamu lahir, besar, dan katanya juga, mungkin sesudah aku dan kamu berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak akan menunggu di situ.
Kalau belum jelas, tanya Ibu. Tapi hati-hati nanya, nanti dia nangis. Kalau aku nanya lagi, dia pasti marah. Tanyakan kenapa kakek memenggal kepala bapak?
3.
Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang Ibu mau bercerita. Tetapi dengarkan saja, jangan menyela, jangan banyak bertanya.
Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Ada yang terpaksa kita biarkan karena jawabannya bertentangan dengan tetangga. Kalau dijawab, kita akan bertengkar. Padahal bagaimana kita hidup tenang kalau tidak rukun dengan tetangga?
Mereka juga begitu. Kita wajib menjaga perasaan masing-masing. Jadi nanti kalau setelah mendengar cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja hati kamu. Atau tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau memberikan jawaban.
Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan berperkara di masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan. Bertanya itu untuk mendengar cerita, jangan menuntut apa-apa.
Sudah bukan zamannya.
Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya. Karena ia lebih memikirkan partai. Lupa kamu yang ada dalam kandungan ibu, adalah juga kewajibannya.
Sebagai bapak aku wajib untuk mengantar anakku tumbuh sampai dewasa, katanya. Sampaikan nanti, kalau dia sudah besar, aku minta maaf, katanya.
Sekarang aku permisi pergi duluan karena aku sudah dijemput. Usahakanlah dengan segala cara asal benar, supaya mereka, maksudnya kamu dan kakakmu, mendapat pendidikan yang baik, sehingga nanti dia bisa mengerti sendiri apa yang sudah terjadi.
Teman-teman lain sudah duluan berangkat. Aku ini yang terakhir. Sebenarnya mereka tidak berniat memberangkatkan aku. Karena mereka tahu, kau sedang mengandung. Tetapi tetangga kita itu, yang pintar cari muka, menunjuk-nunjuk siapa yang harus dijemput, maksudnya supaya dia sendiri tidak dijemput.
Katakan padanya nanti kalau sudah besar, katanya sambil menyentuh perutku, maksudnya kamu, supaya dia belajar saja jadi orang biasa, jangan ikut-ikutan politik.
Sampai di situ, lalu datang bapaknya, kakekmu. Mereka bicara, aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku lihat keduanya menangis, lalu pelukan. Sesudah itu ibu pingsan.
Jangan percaya omongan orang. Bukan kakekmu yang membunuh bapakmu, itu bohong!
4.
Cucuku, sekarang umurmu sudah cukup untuk bertanya. Hanya aku masih ragu, apa kamu sudah siap untuk mendengar.
Sejatinya mendengar tak selalu menunggu umur atau disiagakan oleh umur. Utamanya dalam mendengar adalah batinmu sendiri terbuka. Hati nuranimu saja yang boleh menjawab.
Tetapi karena usiaku sudah larut senja, aku takut nanti tidak sempat. Nanti kamu bisa terkurung dalam gelap. Terkatung-katung seperti layangan putus. Kesana-kemari dipentalkan angin.
Kamu akan gamang antara yang bilang kakek membunuh bapakmu, anakku sendiri. Atau kakekmu sudah berkomplot menyingkirkan lawan politiknya, bapakmu, anakku sendiri.
Dengar baik-baik, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Simak makna seluruh tuturanku, jangan sampai salah tangkap.
Pertama sekali yang perlu kamu ingat, kita adalah keluarga petani. Garapan kita tanah. Milik kita atau milik orang lain, itu tidak membuat kita jadi atau bukan petani.
Kalau kamu hidup dari kerja bertani, kamu petani. Tapi bapakmu tak setuju. Awalnya ia petani yang rajin. Tapi setelah ketemu teman-temannya dari kota, ia berubah.
Ia masuk partai. Kerjanya berunding, rapat tiap malam. Tak mau lagi bertani. Karena sawah yang kita garap punya orang lain. Bangsawan puri di kota. Petani harus punya sawah sendiri, kalau tidak punya bukan petani, katanya.
Sejak itu, ia tidak mau lagi ke sawah. Ia jadi kader pimpinan partai. Ikut bentrokan dengan partai lain. Ibumu dilarang sembahyang tak ada gunanya, katanya.
Ia melarang penggarap-penggarap tanah tunduk pada pemilik tanah. Nanti kalau waktunya sudah tiba, tanahnya akan kita bagi, orangnya kita sembeleh! Revolusi harus memenangkan rakyat jelata, kaum borjuis, feodal, kita bakar!
Bapakmu jadi beringas dan ditakuti. Kakek pun dia musuhi dianggap antek feodal. Dia berani karena Gubernur yang satu partai, mendukungnya.
Desa kita waktu itu kisruh dicekam ketakutan. Warga terbelah. Dalam keluarga ada permusuhan. Orang curiga-mencurigai. Kalau ada yang meninggal tidak lagi saling menyambangi.
Lalu hari yang berdarah itu tiba. Siang jadi malam. Malam jadi siang. Yang dulu ketakutan berbalik jadi menakutkan.
Subuh itu, sejumlah pemuda muncul. Mereka datang baik-baik meminta bapakmu merelakan pergi jauh selamanya. Mereka minta nyawa bapakmu. Bapakmu paham. Aku pun terpaksa paham.
Keadaan pagi itu sungguh aneh. Bapakmu minta jangan orang lain, tapi aku yang harus melakukannya, sebab akulah yang memberinya hidup. Aku tak mampu menerima tugas itu, tapi bapakmu meminta sungguh-sungguh karena ia tidak mau dibunuh tapi diantarkan oleh bapaknya sendiri, aku. Waktu aku ayunkan kelewang itu, aku sedang membunuh diriku sendiri.
Ya, pagi itu, sebenarnya kakek sudah mati. Anak yang bertahun kutunggu, kurawat, kegendong ke mama pun pergi, kududukkan di punggung sapi waktu membajak sawah, harus kuhabisi. Tas.
Bapakmu pergi dengan damai di tanganku yang bukan membunuhnya tapi mengantarnya. Tapi aku tak bisa memaafkan diriku. Begitu banyak yang terjadi di hari-hari itu yang tak akan bisa kita mengerti.
Karena itu menanggapinya dari jauh, seperti sekarang, memerlukan jiwa yang besar. Jangan biarkan peristiwa itu jadi lingkaran setan. Paham? Peristiwa itu jadi sejarah hitam kita bersama.
Aduh, kakek tak kuat lagi. Cerita subuh itu menggelapkan hidup kakek. Semoga kamu bisa menerimanya dengan batin yang bijaksana. Jangan biarkan lingkaran setan itu lebih panjang.
Sekarang berpulang kepadamu. Paham? Aduh ini, kamu bagaimana? Kok grrr, grrr, molor! Bangun! Katanya mau dengar sejarah.
5.
Di dalam kemerdekaan, ternyata masih ada ketidakmerdekaan. Di dalam ketidakmerdekaan ada pembunuhan tanpa peradilan. Apakah betul kita sudah merdeka? Kalau sudah, aku menggugat, adili semua pembunuhan. Termasuk pembunuh bapakku! Seret tangan-tangan kotor. Minta maaf kepadaku, bapakku sudah dieksekusi tanpa peradilan! Bangsa yang tidak tahu sejarah adalah bangsa keblinger! Orang yang tidak peduli sejarah adalah tukang molor dan anarkis yang harus disikat habis!! (*)

Sejarah ilustrasi Jeihan Sukmantoro
Ceritakan padaku apa yang terjadi sebelum aku lahir. Aku ingin berenang, tenggelam dalam sejarah. Agar aku tahu arah yang benar dalam meneruskan langkah.
Sejarahku mentok, berhenti sebelum aku lahir. Jadi biar pun sejarahku ngelotok, sampai tahu berapa ekor nyamuk sudah terbunuh dalam kamar ini, aku tetap saja buta ke masa lalu. Maka terus-terang sejarahku tidak afdol. Dan itu membuat panca inderaku cacat. Timpang.
Mataku, kupingku, mulutku, alat peraba, penciuman, terutama perasaanku tidak komplit. Semua yang tertangkap jadi tidak bulat, lengkap, tuntas, tapi hanya sebagian-sebagian. Bahkan celakanya, tak jelas, itu sebagian besar atau sebagian kecil?
Karena itu tolong las bolong-bolongku! Tambal, sulam, supaya air yang kuciduk tidak berceceran dan akhirnya sudah capek-capek turun ke lembah, mendaki bukit bawa air untuk menyirami tanaman di kebun, sampai di rumah emberku kosong. Semua akan marah. Aku bisa frustrasi dan seluruh tanamanku terancam mati.
Jadi ayolah, ceritakan sejarah yang lengkap, jangan ada yang ketinggalan. Jangan ada yang ditutup-tutupi. Sejarah bukan cerita fiksi untuk menobatkan seorang pelaku jadi pahlawan. Juga bukan sebaliknya! Sejarah bukan tuduhan jaksa untuk menyeret seorang bandit narkoba ke vonis pidana mati.
Sejarah biarkan jadi sejarah saja. Jangan diubah, direnovasi, dipugar atau dimanfaatkan untuk keperluan lain. Biarkan sejarah tetap bagai bianglala peristiwa, prisma berwarna Newton, supaya jadi cermin putih yang mampu menampilkan bayangan semua orang dengan jujur tak memihak.
Ayo cepat, jangan tunda-tunda lagi! Tuturkan sejarah selengkapnya dengan sederhana, apa adanya. Jangan didandani dengan emosi. Jangan meniru gaya para pembawa berita di TV swasta yang sudah membawakan berita yang ditulis menurut kemauan pemilik TV dan dibaca dengan ironi yang sudah dipesan untuk kemenangan kompetisi politik.
Paparkan saja sejarah seadanya. Biarkan pahit tetap pahit, manis terus manis, lepas saja apa adanya. Tak perlu dikomentari, jangan dipandu dengan interpretasi.
Sejarah bukan orang jompo, bukan orang stroke, bukan tunanetra yang harus dibantu perawat. Sejarah akan bergerak menurut kodratnya sendiri. Tak perlu ditata dulu jadi puisi supaya menggigit. Atau dibalut pesan moral supaya beriman. Karena itu bukan nantinya mencuci tapi melumpuhkan saraf.
Silakan mulai, mulai saja tuturkan tanpa seremoni. Biarlah sekarang aku diguyurnya, sebelum keadaan parah, sebelum, sebelum, ya, ya mulai saja, mulai saja begitu, aku dengar sembari aku mulai tidur, grrrrrr grrrr grrrrr, grrrrr gerrrr….
2.
Adikku, waktu kau lahir, aku juga masih kecil. Aku bisa melihat tapi terbatas. Mendengar juga cuma sepotong. Aku tak bisa menyimpulkan.
Jadi catatan sejarahku, tergantung pada omongan orang. Kalau takut, mata aku pejam, ibulah yang lebih tahu. Sejarahku pun pincang sebatas yang ingin kulihat, yang terpaksa aku dengar.
Aku juga tak percaya kenapa hidup lebih menakutkan dari mimpi. Dikejar setan dalam tidur, aku bisa meloncat bangun dan setannya tak bisa memburu keluar. Tapi dalam kejadian nyata, kalau mau lari, kemana?
Jadi lebih baik kulupakan saja kejadian pagi itu. Kuanggap seperti tak pernah terjadi. Karena aku tak mengerti.
Aku bingung. Bapak yang selalu mengurut kakiku sesudah seharian mengejar capung di lapangan, subuh itu ditarik keluar rumah.
Aku bangun, tapi ibu memegang tanganku, menutup kepalaku dengan selimut. Tapi waktu dia mengintip keluar dari kisi-kisi dinding, aku ikut ngintip.
Lalu kulihat bapak berlutut di halaman. Kakek mengangkat kelewang dan aku tak sadarkan diri. Waktu aku buka mata lagi, aku tak pernah lagi lihat bapak.
Ibu bilang bapak sudah berangkat jauh, terlalu jauh, mungkin tak kembali sampai kamu lahir, besar, dan katanya juga, mungkin sesudah aku dan kamu berkeluarga, kita semua akan menyusul. Kata ibu, bapak akan menunggu di situ.
Kalau belum jelas, tanya Ibu. Tapi hati-hati nanya, nanti dia nangis. Kalau aku nanya lagi, dia pasti marah. Tanyakan kenapa kakek memenggal kepala bapak?
3.
Anakku, kebetulan kamu nanya. Memang Ibu mau bercerita. Tetapi dengarkan saja, jangan menyela, jangan banyak bertanya.
Di dalam kehidupan tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Ada yang terpaksa kita biarkan karena jawabannya bertentangan dengan tetangga. Kalau dijawab, kita akan bertengkar. Padahal bagaimana kita hidup tenang kalau tidak rukun dengan tetangga?
Mereka juga begitu. Kita wajib menjaga perasaan masing-masing. Jadi nanti kalau setelah mendengar cerita ini kamu mau bertanya, tanya saja hati kamu. Atau tanya kawan-kawanmu sendiri yang sekiranya akan mau memberikan jawaban.
Jangan bertanya karena ingin menuntut keadilan. Jangan berperkara di masyarakat. Itu tempatnya di pengadilan. Bertanya itu untuk mendengar cerita, jangan menuntut apa-apa.
Sudah bukan zamannya.
Bapakmu sebelum pergi, minta maaf atas kesalahannya. Karena ia lebih memikirkan partai. Lupa kamu yang ada dalam kandungan ibu, adalah juga kewajibannya.
Sebagai bapak aku wajib untuk mengantar anakku tumbuh sampai dewasa, katanya. Sampaikan nanti, kalau dia sudah besar, aku minta maaf, katanya.
Sekarang aku permisi pergi duluan karena aku sudah dijemput. Usahakanlah dengan segala cara asal benar, supaya mereka, maksudnya kamu dan kakakmu, mendapat pendidikan yang baik, sehingga nanti dia bisa mengerti sendiri apa yang sudah terjadi.
Teman-teman lain sudah duluan berangkat. Aku ini yang terakhir. Sebenarnya mereka tidak berniat memberangkatkan aku. Karena mereka tahu, kau sedang mengandung. Tetapi tetangga kita itu, yang pintar cari muka, menunjuk-nunjuk siapa yang harus dijemput, maksudnya supaya dia sendiri tidak dijemput.
Katakan padanya nanti kalau sudah besar, katanya sambil menyentuh perutku, maksudnya kamu, supaya dia belajar saja jadi orang biasa, jangan ikut-ikutan politik.
Sampai di situ, lalu datang bapaknya, kakekmu. Mereka bicara, aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Tapi aku lihat keduanya menangis, lalu pelukan. Sesudah itu ibu pingsan.
Jangan percaya omongan orang. Bukan kakekmu yang membunuh bapakmu, itu bohong!
4.
Cucuku, sekarang umurmu sudah cukup untuk bertanya. Hanya aku masih ragu, apa kamu sudah siap untuk mendengar.
Sejatinya mendengar tak selalu menunggu umur atau disiagakan oleh umur. Utamanya dalam mendengar adalah batinmu sendiri terbuka. Hati nuranimu saja yang boleh menjawab.
Tetapi karena usiaku sudah larut senja, aku takut nanti tidak sempat. Nanti kamu bisa terkurung dalam gelap. Terkatung-katung seperti layangan putus. Kesana-kemari dipentalkan angin.
Kamu akan gamang antara yang bilang kakek membunuh bapakmu, anakku sendiri. Atau kakekmu sudah berkomplot menyingkirkan lawan politiknya, bapakmu, anakku sendiri.
Dengar baik-baik, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Simak makna seluruh tuturanku, jangan sampai salah tangkap.
Pertama sekali yang perlu kamu ingat, kita adalah keluarga petani. Garapan kita tanah. Milik kita atau milik orang lain, itu tidak membuat kita jadi atau bukan petani.
Kalau kamu hidup dari kerja bertani, kamu petani. Tapi bapakmu tak setuju. Awalnya ia petani yang rajin. Tapi setelah ketemu teman-temannya dari kota, ia berubah.
Ia masuk partai. Kerjanya berunding, rapat tiap malam. Tak mau lagi bertani. Karena sawah yang kita garap punya orang lain. Bangsawan puri di kota. Petani harus punya sawah sendiri, kalau tidak punya bukan petani, katanya.
Sejak itu, ia tidak mau lagi ke sawah. Ia jadi kader pimpinan partai. Ikut bentrokan dengan partai lain. Ibumu dilarang sembahyang tak ada gunanya, katanya.
Ia melarang penggarap-penggarap tanah tunduk pada pemilik tanah. Nanti kalau waktunya sudah tiba, tanahnya akan kita bagi, orangnya kita sembeleh! Revolusi harus memenangkan rakyat jelata, kaum borjuis, feodal, kita bakar!
Bapakmu jadi beringas dan ditakuti. Kakek pun dia musuhi dianggap antek feodal. Dia berani karena Gubernur yang satu partai, mendukungnya.
Desa kita waktu itu kisruh dicekam ketakutan. Warga terbelah. Dalam keluarga ada permusuhan. Orang curiga-mencurigai. Kalau ada yang meninggal tidak lagi saling menyambangi.
Lalu hari yang berdarah itu tiba. Siang jadi malam. Malam jadi siang. Yang dulu ketakutan berbalik jadi menakutkan.
Subuh itu, sejumlah pemuda muncul. Mereka datang baik-baik meminta bapakmu merelakan pergi jauh selamanya. Mereka minta nyawa bapakmu. Bapakmu paham. Aku pun terpaksa paham.
Keadaan pagi itu sungguh aneh. Bapakmu minta jangan orang lain, tapi aku yang harus melakukannya, sebab akulah yang memberinya hidup. Aku tak mampu menerima tugas itu, tapi bapakmu meminta sungguh-sungguh karena ia tidak mau dibunuh tapi diantarkan oleh bapaknya sendiri, aku. Waktu aku ayunkan kelewang itu, aku sedang membunuh diriku sendiri.
Ya, pagi itu, sebenarnya kakek sudah mati. Anak yang bertahun kutunggu, kurawat, kegendong ke mama pun pergi, kududukkan di punggung sapi waktu membajak sawah, harus kuhabisi. Tas.
Bapakmu pergi dengan damai di tanganku yang bukan membunuhnya tapi mengantarnya. Tapi aku tak bisa memaafkan diriku. Begitu banyak yang terjadi di hari-hari itu yang tak akan bisa kita mengerti.
Karena itu menanggapinya dari jauh, seperti sekarang, memerlukan jiwa yang besar. Jangan biarkan peristiwa itu jadi lingkaran setan. Paham? Peristiwa itu jadi sejarah hitam kita bersama.
Aduh, kakek tak kuat lagi. Cerita subuh itu menggelapkan hidup kakek. Semoga kamu bisa menerimanya dengan batin yang bijaksana. Jangan biarkan lingkaran setan itu lebih panjang.
Sekarang berpulang kepadamu. Paham? Aduh ini, kamu bagaimana? Kok grrr, grrr, molor! Bangun! Katanya mau dengar sejarah.
5.
Di dalam kemerdekaan, ternyata masih ada ketidakmerdekaan. Di dalam ketidakmerdekaan ada pembunuhan tanpa peradilan. Apakah betul kita sudah merdeka? Kalau sudah, aku menggugat, adili semua pembunuhan. Termasuk pembunuh bapakku! Seret tangan-tangan kotor. Minta maaf kepadaku, bapakku sudah dieksekusi tanpa peradilan! Bangsa yang tidak tahu sejarah adalah bangsa keblinger! Orang yang tidak peduli sejarah adalah tukang molor dan anarkis yang harus disikat habis!! (*)
Putu Wijaya lahir di Puri Anom, Tabanan,
Bali. Putra ketiga (bungsu) dari pasangan I Gusti Ngurah Raka dan Mekel
Erwati. Setelah tamat dari SMAN Singaraja dan Fakultas Hukum UGM, ia
pindah ke Jakarta. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia.
Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta
menulis cerpen, esai, novel, dan lakon. Sejak akhir 2012 aktif melukis.
Ribuan cerpen dan puluhan novel sudah lahir dari tangan Putu. Beberapa
novel dan karya dramanya mendapat penghargaan dari Dewan Kesenian
Jakarta.
diambil dari https://lakonhidup.wordpress.com/2016/09/25/sejarah/#more-7483
Selasa, 15 November 2016
Media pembelajaran berbasis cetakan

Materi pembelajaran berbasis cetakan yang paling umum di kenal adalah buku teks, buku penuntun, jurnal, majalah dan lembaran lepas. Teks berbasis cetakan menuntut elemen yang perlu diperhatikan pada saat merancang, yaitu konsistensi, format, organisasi, daya tarik, ukuran huruf, dan penggunaan spasi kosong.
Perancang pembelajaran harus berupaya untuk membuat materi dengan media yang berbasis teks ini menjadi interaktif, dengan cara sebagai berikut.
- Sajikan informasi dalam jumlah yang selayaknya dapat dicerna, diproses dan dikuasai. Semakin kompleks informasi itu, semakin sedikit jumlah butir yang ditampilkan dalam sekali penyajian.
- Pertimbangkan hasil pengamatan dan analisis kebutuhan siswa dan siapkan latihan yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
- Pertimbangkan hasil analisis respons siswa
- Siapkan kesempatan bagi siswa untuk dapat belajar sesuai kemampuan dan kecepatan mereka.
- Gunakan beragam jenis latihan dan evaluasi.
Untuk
menarik perhatian pada media ini adalah dengan penggunaan warna, bentuk, huruf, garis, huruf dicetak tebal, dicetak miring dan
sebagainya.
Kelebihan media cetak
Beberapa kelebihan media cetakan, termasuk teks terprogram,
adalah:
- Siswa dapat belajar dan maju sesuai dengan kecepatan masing-masing.
- Di samping dapat mengulangi meteri dalam media cetakan, siswa akan mengikuti urutan pikiran secra logis.
- Pepaduan teks dan gambar dalam halaman cetak sudah merupakan hal lumrah, dan ini dapat menambah daya tarik, serta dapat memperlancar pemahaman informasi yang disajikan.
- Khusus pada teks terprogram, siswa akan terpartisipasi/berinteraksi dengan aktif karena harus member respons terhadap pertanyaan dan latihan yang disusun; siswa dapat segera mengetahui apakah jawabannya benar atau salah.
- Meskipun isi informasi media cetak harus diperbaharui dan direvisi sesuai dengan perkembangan dan temuan-temuan baru dalam bidang ilmu itu, materi tersebut dapat direproduksi dengan ekonomis dan didistribusikan dengan mudah.
- Dapat dipelajari kapan dan dimana saja karena mudah dibawa.
Keterbatasan Media Cetak
- Sulit menampilkan gerak dalam halaman media cetakan.
- Biaya percetakan akan mahal apabila ingin menampilkan ilustrasi , gambar, atau foto yang berwarna warni.
- Proses pencetakan media seringkali memakan waktu beberapa hari sampai berbulan-bulan, tergatung kepada peralatan percetakan dan kerumitan informasi pada halaman cetakan.
- Perbagian unit-unit pelajaran dalam media cetakan harus dirancang sedemikian rupa sehingga tidak berlalu panjang dan dapat membosannkan.
- Umumnya media cetak membawa hasil yang baik jika tujuan pelajaran itu bersifat kognitif, misalnya belajar tentang fakta dan keterampilan.
- Jika tidak dirawat dengan baik, media cetakan cepat rusak dan hilang.
- Bahan cetak yang tebal mungkin dapat membosankan dan mematikan minat siswa untuk membacanya.
Pengembangan Media Berbasis Cetakan
Dalam pengembangan media pembelajaran berbasis cetak/print
out dalam bentuk teks dan ilustrasi yang perlu diperhatikan keberagaman siswa,
di mana siswa mungkin saja memiliki perbedaan dalam kemampuan berbahasa,
sehingga media pembelajaran yang dibuat akan bersifat lebih mudah digunakan dan
dipahami siswa. Penggunaan struktur tertentu, menambahkan berbagai kegiatan
(aktivitas belajar), ilustrasi, gambar, foto, peta konsep, kuis, dan permainan
akan mengakomodasi perbedaan gaya belajar yang mungkin ada sehingga siswa lebih
dapat mengikuti pembelajaran dengan media ini secara lebih baik.
Materi pembelajaran berbasis cetak yang paling umum dikenal
adalah buu teks, buku penntun, jrnal, majalah, dan lembaran lepas. Teks
berbasis cetakan menurut enam elemen yang perlu diperhatikan pada
saat meracang, yaitu:
1. Konsistensi
- Gunaka konsistensi format dari halaman ke halaman. Usahakan agar tidak menggabungkan cetakan huruf dan ukuran huruf.
- Usahakan untuk konsisten dalam jarak spasi. Jarak antara judul dan baris pertama serta garis samping supaya sama, dan antara judul dan teks utama. Spasi yang tidak sama sering dianggap buruk, tidak rapih dan oleh karena itu tidak memerlukan perhatian sungguh-sungguh.
2. Format
- Jika paragraf panjang sering digunakan, wajah satu kolom lebih sesuai; sebaliknya, jika paragraf tulisan pendek-pendek, wajah dua kolom akan lebih sesuai.
- Isi yang berbeda supaya dipisahkan dan dilabel secara visual.
- Taktik dan strategi pembelajaran yang berbeda sebaiknya dipisahkan dan dilabel secara visual.
3. Organisasi
- Upayakan untuk selalu. menginformasikan siswa/ pernbaca mengenai di mana mereka atau sejauh mana mereka dalam teks itu. Siswa harus mampu melihat sepintas, bagian atau bab berapa mereka baca. Jika memungkinkan, siapkan piranti yang memberikan orientasi kepada siswa tentang posisinya dalam teks secara keseluruhan.
- Susunlah teks sedemikian rupa sehingga informasi mudah diperoleh.
- Kotak-kotak dapat digunakan untuk memisahkan bagian-bagian dari teks.
4. Daya Tarik
Perkenalkan setiap bab atau bagian baru dengan cara yang
berbeda. Ini diharapkan dapat memotivasi siswa untuk membaca teks.
5. Ukuran Huruf
- Pilihlah ukuran huruf yang sesuai dengan siswa, pesan, dan lingkungannya.
- Hindari penggunaan huruf kapital untuk seluruh teks karena dapat membuat proses membaca itu sulit.
6. Ruang (spasi) Kosong
- Gunakan spasi kosong lowong tak berisi teks atau gambar untuk menambah kontras. Hal ini penting untuk memberikan kesempatan siswa/pembaca untuk beristirahat pada titik-titik tertentu pada saat matanya bergerak menyusuri teks. Ruang kosong dapat berbentuk
- Sesuaikan spasi antar baris untuk meningkatkan tampilan dan tingkat keterbatasa.
- Tambahkan spasi antar paragraf untuk meningkatkan tingkat keterbacaan.
Berikut ini contoh RPP dan media cetak.
RENCANA
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
Sekolah :
MAN Pacet
Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia
Kelas/Semester :
X / Ganjil
Materi Pokok : Teks Eksposisi
Alokasi waktu : 2 x 45 menit
A.
Kompetensi Inti
KI 1 :
|
Menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianutnyadengan mematuhi norma-norma bahasa Indonesia serta mensyukuri
dan mengapresiasi keberadaan bahasa dan sastra Indonesia sebagai anugerah
Tuhan Yang Maha Esa.
|
KI 2 :
|
Menghayati dan mengamalkan
perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama,
toleran, damai), santun, responsif dan menunjukkan sikap pro- aktif sebagai bagian dari solusi atas
berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial secara efektif dengan memiliki
sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia serta mempromosikan
penggunaan bahasa Indonesia dan mengapresiasi sastra Indonesia.
|
KI 3 :
|
Memahami, menerapkan,
menganalisis pengetahuan faktual, konseptual, prosedural berdasarkan rasa
ingin tahu tentang bahasa dan sastra
Indonesia serta menerapkan pengetahuan prosedural pada bidang kajian bahasa
dan sastra yang spesifik sesuai dengan bakat dan minatnya untuk memecahkan
masalah ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (ipteks).
|
KI 4 :
|
Mengolah, menalar, dan
menyaji dalam ranah konkret dan ranah abstrak
untuk mengembangkan ilmu bahasa dan sastra Indonesia secara mandiri
dengan menggunakan metode ilmiah sesuai kaidah keilmuan terkait.
|
B.
Kompetensi
Dasar dan Indikator
4.3 Menyunting teks
eksposisi sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun
tulisan.
4.3.1 Siswa mampu menyunting teks eksposisi sesuai dengan struktur dan
kaidah teks eksposisi.
4.3.2 Siswa mampu menyunting bahasa sesuai dengan struktur, kalimat,
ejaan, dan tanda baca.
C.
Tujuan Pembelajaran
Setelah proses menggali informasi melalui
berbagai fakta, menanya konsep, berdiskusi atas fakta dan konsep,
menginterprestasi mengasosiasi dan mengomunikasikan, siswa dapat:
1. Menyunting isi
sesuai dengan struktur isi teks eksposisi.
2. Menyunting bahasa
sesuai dengan struktur, kalimat, ejaan, dan tanda baca.
D.
Materi
Pembelajaran
Tema : Eksposisi
Fakta : Contoh teks eksposisi.
Konsep :
Kaidah-kaidah penulisan teks
eksposisi (menentukan tema, menentukan tujuan penulisan, mengumpulkan informasi
atau bahan tulis, membuat kerangka tulisan dan mengembangkan kerangka karangan)
Prinsip :
a. Struktur
bahasa teks eksposisi (pilihan kata, struktur kalimat dan konjungsi)
b. Kaidah-kaidah
bahasa Indonesia (ejaan, tanda baca, dan kata baku dan tidak baku
Prosedur :
a. Pernyataan
pendapat (Tesis)
b. Argumentasi
c. Penegasan
ulang pendapat
E.
Alokasi
waktu
2 x 45 Menit
F.
Pendekatan
dan Metode Pembelajaran
Pendekatan : Scientific
Learning
Model : Problem Based Learning
Metode : Latihan dan Diskusi Kelompok.
G.
Media,
Alat dan Sumber Pembelajaran
Media :
Cetak (Lembaran
wacana)
Alat/bahan
LCD, laptop
Sumber Belajar
Bahasa Indonesia: Ekspresi Diri
dan Akademik. 2013. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan.
Keraf, Gorys. 2000. Eksposisi dan
Argumentasi. Jakarta: PT Gramedia.
H.
Kegiatan
Pembelajaran
1. Pendahuluan
1) Siswa
merespon salam dan pertanyaan dari guru berhubungan dengan kondisi dan
pembelajaran sebelumnya,
2) Siswa
menerima informasi tentang keterkaitan pembelajaran sebelumnya dengan
pembelajaran yang akan dilaksanakan.
3) Siswa menerima informasi
kompetensi, materi, tujuan, dan langkah pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2. Kegiatan Inti
Mengamati:
- Sebelum pembelajaran dimulai, guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4 – 5 orang.
- Setiap kelompok membaca dan mengamati teks eksposisi yang berada di lembar karangan.
Menanya:
Siswa mempertanyakan isi teks eksposisi yang
dibaca.
Mengeksplorasi:
- Siswa menganalisis isi teks eksposisi (judul, klasifikasi umum, dan deskripsi) dengan cermat.
- Siwa menganalisis bahasa teks eksposisi (pilihan kata, istilah, gaya bahasa, dan konjungsi) dengan cermat.
- Siswa memperbaiki teks eksposisi yang telah dibaca.
Mengasosiasikan
- Setiap kelompok membandingkan hasil analisis dengan analisis kelompok lain untuk saling melengkapi.
- Setiap kelompok mendiskusikan dan menyimpulkan hasil penyuntingan dengan penulis atau kelompok yang menulis.
Mengkomunikasikan:
- Perwakilan setiap kelompok mempersentasikan hasil analisis dan diskusi.
- Setiap kelompok memberikan tanggapan kepada kelompok lain secara santun.
3. Penutup
1) Siswa
bersama guru menyimpulkan pembelajaran.
2) Siswa
melakukan refleksi terhadap kegiatan yang sudah dilakukan.
3) Siswa dan guru
merencanakan tindak lanjut pembelajaran untuk pertemuan selanjutnya.
I. Penilaian Hasil Pembelajaran
1. Format Penilaian Sikap
No
|
Nama Siswa
|
Perilaku yang Diamati pada Pembelajaran
|
|||
Aktif
|
Kerjasama
|
Toleransi
|
Santun
|
||
1.
|
|||||
2.
|
Rubrik Penilaian:
A : Sangat Baik
B : Baik
C : Cukup
D : Kurang
2.
Format
Penilaian Pengetahuan
Kompetensi Dasar
|
Indikator
|
Bentuk Soal
|
Tugas
|
Menyunting
teks eksposisi sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan
maupun tulisan.
|
1.
Menganalisis isi teks eksposisi
2.
Menganalisis bahasa teks eksposisi
|
Uraian
|
Para siswa
diminta berdiskusi untuk memahami struktur dan kaidah teks eksposisi pada
wacana yang disajikan kemudian menyunting wacana tersebut sesuai dengan strur
dan ciri kebahasaan teks eksposisi.
|
Rubrik Penilaian
4
: jika jawaban sesuai dan lengkap.
3
: jika jawaban sesuai dan kurang lengkap.
2
: jika jawaban kurang sesuai dan kurang lengkap
1
: jika jawaban tidak sesuai dan tidak lengkap.
3.
Format
Penilaian Keterampilan
Kompetensi Dasar
|
Indikartor
|
Bentuk Soal
|
Tugas
|
Menyunting
teks eksposisi sesuai dengan struktur dan kaidah teks baik secara lisan maupun
tulisan.
|
1.
Menyunting isi sesuai dengan struktur isi teks eksposisi.
2.
Menyunting bahasa sesuai dengan struktur, kalimat, ejaan, dan
tanda baca.
|
Praktik
|
Persentasikanlah
hasil analisis dengan rasa percaya diri serta tanggapi persentasi kelompok
lain secara santun.
|
Latihan dan Teks yang
Diberikan
Mengurutkan Paragraf
dalam Teks Eksposisi
Kalian sudah mengetahui bahwa
teks eksposisi digunakan untuk mengajukan pendapat atau mengusulkan sesuatu.
Pada tugas ini kalian akan membangun teks eksposisi dengan tujuan tersebut.
Ikutilah petunjuk yang diberikan pada setiap nomor!
1)
Teks yang berjudul “Jokowi Menjadi Pemimpin
Idaman Masyarakat Indonesia”. Paragraf-paragraf pada teks tersebut sengaja
diacak dan kalian diminta untuk mengurutkannya. Sebelum melakukannya, bacalah
teks tersebut dengan saksama.
Ingatlah kembali
bahwa struktur teks eksposisi adalah pernyataan pendapat (tesis), argumentasi,
dan pernyataan ulang pendapat.
Jokowi Menjadi Pemimpin Idaman Masyarakat Indonesia
1.
Dalam berbagai lembaga survei Indonesia Jokowi
diperkirakan akan mudah memenangkan Pilpres 2014. Hal tersebut tentu beralasan
karena lembaga survei Indonesia seperti IRS (Indonesia Research Center) dan
Kompas menyatakan bahwa Jokowi menempati urutan pertama dengan tingkat
keterpilihan sebesar 36,2%. Demikian hasil IRC yang diperoleh dari 8200
responden. Sementara itu Wiranto dan Prabowo Subianto menduduki peringkat kedua
sebagai calon yang paling banyak di pilih untuk menjadi Presiden Indonesia
2014.
2.
Tingkat efektabilitas Wiranto berada di angka
sekitar 10,7% dan Prabowo sekitar 9,4% berada jauh dibawah Jokowi. Direktur Pol
Tracking Institute Hanta Yuda AR menyatakan, faktor utama yang membuat figur
Jokowi terus melesat adalah pemberitaan media Jokowi setiap harinya. Lanjutnya
Jokowi tidak pernah lepas dari pemberitaan media, baik cetak, online maupun
televisi. Yang membedakan Jokowi dengan tokoh-tokoh lainnya seperti prabowo dan
wiranto adalah Jokowi dikenal melalui Public Relation, pemberitaan, sementara
yang lainnya dengan iklan, kata Hanta. Pemberitaan yang terus menerus menyorot
Jokowi menurutnya mampu menggugah hati masyarakat secara langsung untuk
mendukungnya. Pemberitaan dianggap masyarakat sebagai sesuatu yang murni dan
sungguhan, sementara iklan dianggap masyarakat sebagai kampanye dan pencitraan
belaka.
3.
Jokowi menjadi buah bibir pada Pemilu (Pilpres)
kali ini. Sosoknya yang merakyat, jujur dan berintegritas tinggi menjadi
Pemimpin dambaan rakyat Indonesia. Bahkan Gubernur DKI Jakarta ini
digadang-gadang akan mencalonkan diri sebagai Capres dari Partai PDI
Perjuangan.
4.
Dari hasil survei tersebut kita patut berbangga
karna masih ada sosok Pemimpin yang didambakan oleh masyarakat. Tetapi kembali
lagi kepada kita sendiri yang harus benar benar memilih Pemimpin yang akan
memimpin di Negara ini. Tentunya pilihan ada di tangan kita semua.
(Disesuaikan: Asep
Cepi: http://asepcepi21.blogspot.co.id/2014/04/teks-eksposisi.html)
1) Setelah
kalian memahami isi teks tersebut, tentukan urutan yang terbaik dengan memilih
(a), (b), (c), (d), atau (e) di bawah ini.
a. 4
– 3 – 2 – 1
b. 3
– 2 – 1 – 4
c. 3
– 1 – 4 – 2
d. 3
– 1 – 2 – 4
e. 4
– 3 – 1 – 2
2) Dalam
teks tersebut adakah kata dan tanda baca yang kurang tepat? Jika ada, coba
perbaiki hal tersebut menggunakan kaidah bahasa yang baik!
3) Sebutkan
istilah-istilah yang belum kamu pahami, kemudian carilah arti istilah tersebut
dalam kamus!
4) Tulis
ulanglah urutan paragraf tersebut sehingga kalian mendapatkan teks eksposisi
yang bagus.
5) Bacalah
paragraf 1 itu sekali lagi. Paragraf itu berisi argumentasi. Jelaskan fungsi sementara
itu pada kalmat Sementara itu Wiranto dan Prabowo Subianto menduduki peringkat
kedua sebagai calon yang paling banyak dipilih untuk menjadi Presiden Indonesia
2014.
6) Bacalah
juga paragraf 4 itu sekali lagi. Jelaskan fungsi dari hasil survei pada kalimat
Dari hasil survei tersebut kita patut berbangga karna masih ada sosok Pemimpin
yang didambakan oleh masyarakat.
Kunci Jawaban
1.
Siwa mengamati teks eksposisi
2.
d) 3 – 1 – 2 – 4
3.
Perbaikan
1) Kata
di pilih pada paragraf 1 kalimat 4 seharusnya ditulis serangkai karena
bukan merupakan kata depan yang menunjukan tempat.
2) Kata
prabowo dan wiranto pada paragraf 2 kalimat 4 seharusnya diawali
oleh huruf kapital karena menunjukan nama orang.
3) Kata
Public Relation seharusnya dimiringkan menjadi Public Relation,
karena merupakan bahasa asing.
4.
Istilah-istilah
1) Efektabilitas
= hasil
2) Public
Relation = hubungan dengan masyarakat
3) Berintegritas = bermutu, sifat, atau keadaan yg menunjukkan
kesatuan yg utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yg memancarkan kewibawaan;
kejujuran.
5.
Kata sementara itu berfungsi sebagai kata
penyambung yang menjelaskan kalimat sebelumnya.
6.
Kata dari hasil survei berfungsi sebagai
penegasan ulang penulis serta penarik kesimpulan sebuah kalimat.
Minggu, 13 November 2016
Kenapa mesjid, aira?
Sepertinya tak ada hal yang dapat membahagiakan
hari-harinya. Setiap melihatnya pasti bibirnya
cembrut, ia jarang sekali tersenyum,
raut wajahnya kusut, pandangan matanya sinis, setiap bertemu dengan orang lain,
sekalipun ia mengenalnya, sangat sulit ia sapa. Enggan basa-basi layaknya
perempuan ramah. Dini namanya.
Siangnya, Sinar mentari sangat menyerang setiap
kepala membuat mereka mengerutkan kelopak matanya, terompet klakson diparkiran
lagi-lagi memenuhi telingaku, hilir mudik mahasisiwa menambah bising kepalaku,
ya. kuputuskan nongkrong di kantin saja.
“Kemana aira?”
“ Kesini din,ke mesjid”.
Jawabnya sambil jalan setengah lari, matanya tanpa
melirikku. Entah kenapa dahiku mengerut seketika, dan berpikir sejenak.
“ aneh anak itu disaat sibuk seperti ini saja
masih pergi ke mesjid”.
Esok harinya, hari rabu, pagi itu aku terbangun
dengan guyuran air ember dan semprotan ceramahan, hadiah menyeramkan dari bapakku. kubuka perlahan kelopak mataku
dan kuusap muka yang sudah basah kuyup itu. Dan akhirnya aku kesiangan ngampus,
ini gara-gara semalaman gadang sama teman, ternyata pintu kelas sudah ditutup
oleh penguasa yang tak lagi menerima mahasiswa lena.
” Tak apa, seperti biasa ke kantin saja.”
Ujarnya tanpa rasa sedikitpun bersalah. Ia berjalan
dengan wajah cembrut seperti biasanya, tiba-tiba
ia terpeleset di depan orang banyak, sampai di mereka ketawa ngakak.
“Ah, dasar rabu sial”.
Katanya, sambil melanjutkan jalannya dan menendang
aqua kosong yang berada di depan sepatunya. Tanpa terkira aqua itu
terdampar diteras mesjid. Dan kulihat
wanita berhijab dengan wajah bersinar, matanya sejernih embun, pribadinya
anggun dan ramah, membuat hati kita terbawa tenang, dan itu khumaira ternyata. Ia sedang
duduk diteras sambil memakai sepatu, ia tersenyum tulus, dan menyimpan aqua itu ke tempat sampah.
***
Tuhan, inikah
jawabannya, bila kutak menemui rumah-Mu?.
Langganan:
Postingan (Atom)